1 November 2020
Penulis — devilman21
Sepeda motor bekas pun akhirnya dibelikan kepada kakakku Adi. Maksudnya, agar Kak Adi boleh memboncengku ke sekolah, kemudian dia pun meneruskan ke sekolahnya di STM. Bila pulang sekolah, aku menunggunya, kami pun kembali berboncengan pulang kembali ke rumah.
Dengan uang Rp. 10.000, kami boleh sekolah berdua dengan aman. Selama ini, bapak kami harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 30.000,- per hari buat kami berdua. Kak Adi sekolah kelas 3 STM dan aku kelas 1 SMP. Jalan menuju jalan besar, sedikit berlubang dan dikuatkan dengan batu-batu kerikil. Mulanya, aku sangat takut dengan lubang lubang itu, membuat aku harus memeluk kuat Kak Adi di boncengan. Sebulan setelah itu, keadaan biasa-biasa saja.
Tapi lama-lama aku merasa sangat nyaman dan enak, ketika jalan berlubang itu kami lalui. Sepanjang 2 Km, tetekku yang mulai membengkak tergesek-gesek di punggung kakakku. Sampai akhirnya Kak adi sendiri yang berkata: “Tuty, kakak senang sekali kalau kamu peluk erat dari belakang.”
“Kenapa kak?”
“Tapi jangan bilang siapa-siapa ya. Tetekmu enak mengelus-elus punggung kakak,” katanya. Aku tersenyum. Ternyata buka aku saja yang merasakan enaknya. Kak Adi juga. “Aku juga,” kataku polos. Dan kami pun tersenyum berdua.
Pulang sekolah, ada sisa jajan, dan kami duduk di warung di sebuah ketingian, hingakami bisa menyaksikan keindahan pohon-pohon sait yang baru ditanami, hijau bergelombang di tanah yang berlembah dan berbukit. Kami duduk di bawah pohon rindang, memesan dua gelas es dawet dingin.
“Tut… kata orang, ciuman itu enak. Kami mau kalau Kakak cium?” Kak Adi berkata seperti kepada dirinya sendiri. Sepertinya dia ragu mengucapkan kata-katanya. Aku tertunduk malu. Padahal aku juga ingin dicium. Di kelas, kawan-kawanku mengaku sudah punya pacar dan sudah pernah berciuman. Dalam umurku yang 13 tahun, aku sudah haid dan selalu membayangkan Kak Adi mencium dan memelukku.
“Kok kamu enggak menjawab,” Kak Adi mengusik lamunanku. Aku hanya tersenyum dan tertunduk malu. Setelah melihat keadaan aman di balik pohon besar tempat kami duduk itu, tiba tiba Kak Adi mendekatiku dan memelukku serta mencium bibirku. Aku terkejut dan membiarkannya. Bibirku bagian bawah dia sedot-sedot sembari tangannya mengelus tetekku dari luar. Uuuhhh… aku melayang. Kami pun saling menatap, kemudian aku tertunduk malu dan tersenyum. “Kapan-kapan lagi ya?” Kak Adi membisikiku. Kami pun pulang karena takut terlambat di rumah. Sudah diberikan sepeda motor, malah terlambat.
Kami makan bedua, lalu Kak Adi mau ke ladang memindahkan lembu yang biasanya terikat di ladang. Dia hanya mengenakan celana pendek. Ibu kami asyik dengan jualannya pada warung di depan rumah kami. Dia menjual gado-gado dan pecel serta ayah berada di sawah, karena sebentar lagi musim tanam padi.
“Mak, aku boleh ikut Kak Adi memindahkan lembu ya. Kasihan setiap hari Kak Adi memindahkan sendiri lembu-lembu itu,” kataku. Ibuku tersenyum.
“Kalau semua kerjaan di rumah sudah selesai, ya sana ikut Kak Adi mu,” kata ibuku. Aku pun ikut dengan Kak Adi. Kami berjalan cepat-cepat. Lembu-lembu kami pindahkan bersama ke tempat yang agak teduh dan rumput yang segar. Tiga ekor lembu yang setiap pagi dibawa oleh ayah ke ladang, siang dan sore Kak Adi yang memindahkannya dan mebawanya pulang ke kandang.
Usai memindahkan lembu-lembu itu, kami duduk di bwah pohon manga yang subur dan lebat. Sunyi sekali saat itu. Kak Adia mengajakku ke rumput bambu yag lebat. Ada beberapa rumpun babmu besar di ladang kami yang luas. Sepi dan sunyi. Kak Adi memelukku dan bibir kami berpautan. Lidah Kak Adik bermain-main di dalam rongga mulutku.
Tangannya mengelus-elus tetekku. “Kamu lepas BH mu ya Tut. Kakak kau isep tetekmu. Boleh ya…?” Aku menurut saja. Kulepas BH ku dan kukantongi di celanaku. Baju kaos oblongku disingkap ke atas dan mulutnya mulai mengisapi pentil tetekku yang mungil. Aku senang sekali. Kak Adi memelukku kuat dan erat, aku membalasnya juga dengan pelukanku. Semakin kuat Kak Adi memelukku, aku juga semakin kuat membelasnya.
Sebelah tangannya mengelus-elus pantatku dan memekku begitu rapat dengan burungnya, walau kami sama-sama masih memakai celana. Akhirnya Kak Adi melepaskan ciumannya dan meregangkan pelukannya. Kami kembali ke pohon mangaa yang rindang mengamati lembu kami asyik memamah rumput segar. Tak lama kami meliohat ayah mendekati kami. Untung saja, kami sudah berada di bawah pohon mangga. Ayah tersenyum melihat kami duduk berdua, dan aku sedang membaca buku yang kubawa dari rumah. Ayah kami mengira aku sedang diajari oleh Kak Adi.
“Nih… aku bawakan sebuah pepaya untuk kelian. Aku pulang duluan, mau ke rumah Pakde mu. Abangmu mau menikah, jadi aku dan ibumu akan ke sana. Nanti malam baru pulang,” kata ayah sembari menyerahkan sebuah pepaya. Kami senang sekali. Begitu ayah menjauh, Kak Adi membisikiku. “Tut… aku masih mau lho… Kamu cebok dulu ke irigasi. Cuci yang bersih tempemu,” bisiknya. “Mau diapai tempeku?”
“Sudah sana, nanti kamu tau sendiri.” Aku pun segera ke irigasi berair jernih itu dan mencuci tempeku. Jaraknya hanya 20 meter dari tempat duduk kami.
Kembali Kak Adi membawaku ke rumpun bambu yang lebat dan kami masuk ke sela-sela antara tiga rumpun. Di bwah bambu itu bersih sekali. Aku ditidurkan Kak Adi di tanah yang keras beralaskan daun pisang kering. Kedua kakiku dikankangkan dan Kak Adi berada di antara kedua kakiku. Dia mulai menunduk dan menjilati tempeku.
Kak… jijik, kak. Tempuku kok dijilati?”
“Kan sudah dicucui bersih tadi?”
“Sudah tapi…”
“Sudah diam saja. Pasti kamu nanti ketagihan.”
Aku membiarkan Kak Adia menjilati tempeku dan benar saja, terasa nikmat sekali. Aku menggelinjang-gelinjang dan kuelus rambut Kak Adi. Sampai akhirnya aku menjepit kepala Kak Adi dengan kedua kakiku dengan kuat dan aku mengerang.
“Kak… Aku mau pipis…” akuterus menjepit kepala Kak Adi dengan kedua kakiku dengan kuat sekali dan kemudian aku lemas setelah aku berada tinggi di atas awang-awang. Saat aku lemas, Kak Adi melapas jilatannya di Tempeku, kemudian dia menciumi bibirku, tetekku dan memelukku kuat sekali, kemudian dia pun melemas
Setiap ada kesempatan, aku dan KakAdi selalu saja menyempatkan diri untuk melakukan berbagai hal. Mulai dari berciuman, Kak Adia menjilati Tempeku dan aku mengisap burungnya serta banyak hal lagi.
Di ladang, aku diajari oleh Kak Adi membawa sepeda motor. Ayah dan ibuku senang sekali, melihat kekompakan kami berdua. Kak Adi aternyata sangat menyayangiku. Mereka tak tahu apa sebabnya. Pokoknya mereka senang, melihat Kak Adia mengajariku naik sepeda motor. Hari pertama biasa saja. Hari kedua juga biasa saja. Hari ketiga juga dan beberapa hari kemudian aku semakin mahir membawa sepeda motor bebek itu.
Kak adi meminta agar aku membawa sepeda motor ke rumpun bambu. Tangannya terus mengelur tempe ku dari luar. Aku mengelinjang. Bahkan tempeku menjadi basah, karena elusannya itu. Sepeda motorpun kami starndart kan di bawah rumpun bambu sembari mengawasi lembu kami memakan rumut.
“Selama ini, burung Kak Adi kan sudah laga dengan tempe-mu Tut? Bagaimana kalau burung Kak Adi dimasukin ke dalam lubang tempe-mu…” Kak Adi membisiku. Aku tersenyum.
“Terserah Kak Adi saja…”
“Tapi katanya sedikit sakit. Hanya sebentar kok. Kalau sudah itu, lantas jadi enak?”
“Terserah Kak Adi saja.”
Aku pun dibawa ke tempat biasa kami, yakni di antara tiga rumpun bambu yang lebat dan di bwahnya bersih sekali. Malah (pasti) Kak adi sudah menyiapkan sebuah plasti untuk tempat tidur. Aku terlentang. Kulepas celana dalamku dan Kak Adi meliorotkan celananya sampai ke dengkul. Kulihat Burung Kak Adi begitu keras dan berdiri megacung. MUlanya dia menjilati tempe-ku dengan rakusnya, sampau aki merasakan melayang-layang. Kemudian dia mendekatkan ujung burungnya ke tempe-ku.
Sebelah tangan kirinya mengarahkan burungnya ke tempe-ku dan sebelah lagi mendekapku. Perlahan ujung burung Kak Adi menyeruak lubang tempe-ku. Aku menggigit bibirku, karean terasa sakit.
“Sakit Kaaakkk…” Tekanan burungnya terhenti, justru bibirnya dan lidahnya bermain di mulutku. Kemudian dia menekan kembali dengan terus sampai aku hambpir saja menjerit karean menahan sakit dan perih. Air mataku meleleh menahankan rasa sakit itu.
Kak Adi pun membelai kepalaku dan mencium pipiku dengan lembut. Sebentar lagi tak sakit lagi, katanya. Setelah tetekku diisapinya, kembali dia menerik burungnya dan kembali menusuknya, menarik perlahan dan menusuk perlahan dan seterusnya. Aku sudah mampu merasakan perubahan dari sakit dan mulai nikmat, sampai akhirnya, aku merasakan ada lendir hangat memenughi ruang tempe-ku.
Cepat aku disuruhnya mencuci tempeku ke irigasi. Aku melihat ada darah di air jernih itu.
Aku pun menyurun strategi, kalau ditanyai kenapa jalanku seperti tidak normal. Benar saja, ibu bertanya seperti apa yang kubayangkan. Aku mengatakan, aku datang bulan (haid) dan terasa sangat sakit. Ibu tersenyum. Dia memberikan jamu agar rasa sakitnya hilang dan darah lancar keluar. Aku meminumnya, Tapi rasa nyeri masih juga ada.