3 November 2020
Penulis — Alterego05
Bunda Krista
”Arghhhhhhhh,” wawan agak berteriak di sekitar puting susu bundanya ketika merasa penisnya meledak di dalam celana pendeknya.
“Oh, Baby, Bunda minta maaf,” bisik bundanya sambil menatapnya tersentak ketika ia berejakulasi, “Maafin bunda sayang.”
_
Wawan tidak percaya bahwa hal itu terjadi. Dia tidak bisa menghentikannya.
Bundanya perlahan-lahan bangkit dari duduknya.
“Maafin bunda sayang, tapi bunda harus menjawab teleponnya, mungkin itu Ayahmu” ia berkata pelan, menarik jubahnya tertutup dan berjalan ke telepon.
Wawan membenamkan kepalanya di bawah bantal. Bagaimana dia bisa klimaks tepat di depan bundanya.
Dia sangat malu. Dia tidak akan pernah mampu menghadapinya lagi. Mencoba untuk mengubur aibnya di bawah bantal-bantal di sofa, dia mendengarkan bundanya berbicara di telepon ketika dia merasa air mata malu mengalir di wajahnya.
Dia tidak bisa jelas mendengar apa yang bundanya katakan di atas gemuruh hujan yang mengalir turun di rumah. Kemudian, tiba-tiba, ia merasa lelah dan tidak mampu untuk membuka matanya. Dia tidak berusaha untuk melawannya dan dalam sekejap, ia tertidur.
_
(Lanjutan)
Ruangan itu gelap ketika ia terbangun. Dia tidak bergerak selama beberapa saat ketika ia membiarkan matanya terbiasa dengan gelapnya ruangan. Setelah beberapa saat, matanya dapat melihat dengan baik keadaan seisi ruangan.
Kemudian ia melihat bundanya duduk, di kursi di depan perapian. Dia seakan tidak percaya menyaksikan bundanya memijat dengan lembut payudaranya sementara ia meneguk segelas anggur. Bahkan meskipun ia telah klimaks sebelumnya hanya dalam waktu singkat, ia merasakan kejantanannya kembali hidup seketika.
Bundanya sepertinya tidak menyadari bahwa jubahnya telah terlepas, sehingga payudaranya yang bengkak benar-benar kelihatan. Matanya menikmati dalam-dalam keindahan tak tertandingi itu ketika ia melihat bundanya memainkan jari-jarinya pada putingnya. Penisnya pun menjadi keras seperti batu.
Lalu, ia melihat tangan bundanya perlahan-lahan menyelinap turun dari payudara selangkangannya. Cara bundanya duduk menghalangi wawan melihat lebih jelas apa yang bundanya lakukan. Tapi ketika kepalanya mendongak ke atas dan matanya tertutup, ia dapat membayangkan di mana tangannya itu.
Wawan sudah di ambang klimaks kedua ketika ia melihat bundanya bermain dengan tangannya sendiri. Gerakan tangan bundanya menjadi lebih dan lebih bersemangat. Kakinya membuka semakin lebar terpisah dan dia mulai membuat suara-suara mendesah kecil seperti sebelumnya. Napasnya memburu dan sementara tangannya bergerak lebih cepat dan lebih cepat.
Kemudian telepon kembali berdering.
Wawan memejamkan mata dan pura-pura tidur ketika ia melihat ibunya bangun dan berjalan menyeberangi ruangan. Dia bisa mendengar bundanya berbicara pelan kepada seseorang, tapi suara hujan membuatnya mustahil untuk mengetahui apa yang bundanya katakan.
Setelah beberapa saat, ia mendengar bundanya menutup teleponnya. Bundanya kembali duduk di kursinya. Ketika membuka matanya, ia melihat bahwa bundanya telah membuka jubahnya lagi dan memijat payudaranya.
Wawan kemudian bangun dan perlahan-lahan, ia duduk.
”Tetek bunda sakit??” ia tanpa malu-malu bertanya tidak tahu di mana ia mendapat keberanian.
”Apa, eh, apa tadi sayang?” Bundanya terbata-bata, berbalik ke arahnya.
Dia diam selama beberapa saat ketika ia membiarkan wawan melihat payudaranya. Dia tampak bingung dan pada awalnya tidak berusaha menutupi payudaranya.
“Tetek bunda sakit lagi?” ia tersipu saat menatap bundanya telanjang dada.
“Oh, Bunda minta maaf,” ia bergumam, perlahan menutup jubahnya dan menutupi payudara, “Bunda nggak bermaksud buat wawan malu.”
“Agak sakit sedikit sih,” bundanya tersenyum kembali kepadanya, “tapi nggak kayak sebelumnya.”
“Tetek bunda bagus banget,” katanya lemah, tidak tahu apa lagi yang harus lakukan atau katakan.
“Ah yang benar?” Ia berkata, kali ini tersipu-sipu malu,” Bunda pikir agak terlalu kendur.”
“Oh, Tidak, Bunda, tetek bunda indah sekali,” serunya, dengan jelas menunjukkan kegembiraannya.
“Terima kasih sayang,” ia tertawa pelan, sambil meminum anggurnya.
”Eh, Bunda mau wawan… itu… nenn lagi… biar nggak sakit?” ia bergumam, malu bahwa ia telah mengatakan itu.
“Apa sayang?” bundanya bertanya dengan tatapan bingung di wajahnya.
“Ngga itu…” kata wawan, tersipu lagi.
Apa bundanya tahu bahwa ia telah klimaks sebelumnya, ia bertanya-tanya ketika bundanya duduk sambil tersenyum kembali padanya.
Wawan ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
“Kamu mau makan wawan?” bundanya berkata kepadanya, “bunda nyiapin cemilan pas kamu tidur tadi.”
“Wah… kebetulan agak-agak laper nih bunda” katanya sambil bangkit dan pergi ke meja.
“Kau tidurnya nyenyak, banget, bunda nggak tega ngebanguninnya, kamu capek banget kelihatannya.”
Wawan tidak tau harus bilang apa untuk meresponnya, ia terus saja melahap makanan yang ada di meja. Rupanya dia lapar, tapi tidak menyadari itu karena emosi seksual telah menutupi semua perasaan lainnya.
Setelah menuangkan segelas anggur, ia berjalan kembali dan duduk di sofa. Bundanya mengatakan kepadanya bahwa mereka terjebak di pondok setidaknya sampai besok siang. Ayahnya telah berbicara dengan pihak berwenang dan menemukan bahwa penjaga taman nasional lokal memiliki unit jembatan darurat dan bahwa mereka bisa keluar dari situ segera setelah hujan berhenti.
Wawan melihat ke jam tangan nya, ia terkejut “sudah pukul sembilan malam rupanya”.
“Wah, sudah malam ya,” kata bundanya sambil mengisi gelasnya.
“Yah, kamu tidur lumayan lama tadi” Bundanya tersenyum kembali kepadanya, perlahan-lahan menyesap minumannya.
Tak satu pun dari mereka berbicara selama beberapa saat. Wawan bangkit dan melangkah ke pintu Pondok, memandangi hujan yang turun lebat sekali.
“Wah, masih deras banget bunda,” ia berteriak kembali ke bundanya.
“ketahuan dari suaranya” sahut bundanya.
Menutup pintu, wawan berjalan ke perapian dan menghangatkan tangannya. Dia ingin bertanya kepada bundanya apakah ia bisa menyusu lagi, tapi ia terlalu malu sehingga ia hanya berdiri di depan api menunggu untuk melakukan atau mengatakan sesuatu.
“Sayang, bunda mau tidur dulu ya,” ia mendengar bundanya berkata setelah beberapa saat, “capek juga rasanya hari ini.”
“wawan juga mau tidur lagi kayaknya.”
Kecewa bahwa bundanya tidak memintanya untuk menyusu lagi, ia berjalan ke kamar dan membuka pakaiannya. Pondok itu hangat jadi dia bisa tidur dengan telanjang seperti biasanya. Meringkuk di bawah selimut, ia membelai lembut penisnya yang bengkak ketika ia mendengarkan bundanya siap-siap untuk tidur di kamar sebelah.
Lalu tiba-tiba, bundanya menjulurkan kepalanya di sudut pintu. Wawan terkejut, ia tahu kalo bundanya sempet melihatnya dia membelai dirinya sendiri.
“Eh, Good Night, Baby,” katanya, “tidur yang nyenyak ya..”
Lalu sebelum ia punya kesempatan untuk menanggapi, bundanya kembali menghilang dari pintu.
“Eh, malam, Bunda,” ia berteriak.
Dia tidak mendapat jawaban, tetapi setelah beberapa menit, bundanya mematikan lampu di kamarnya, pondok menjadi gelap kecuali cahaya samar-samar dari api di ruang tamu.
Berbaring di tempat tidurnya, Wawan berpikir kembali atas peristiwa-peristiwa yang terjadi hari ini, ia perlahan-lahane tertidur.
Hingga tiba-tiba, ia terbangun. Sesuatu telah membangunkannya, tapi ia tidak tahu apa. Perapian sudah hampir padam dan rumah itu gelap.
Kemudian ia mendengar suara kayu log diletakkan diperapian. Ketika ia melihat, cahaya kemilau dari peraapian perlahan-lahan bertambah terang. Kemudian ia mendengar ibunya meletakkan kayu log lain di perapian.
Ia tidak bisa melihat perapian dari tempat tidurnya, tapi ia masih bisa melihat samar-samar cahaya itu.
Menatap ke arah pintu masuk menuju ruang tamu, ia terkejut melihat ibunya tiba-tiba muncul di depan pintu. Dia tahu bahwa terlalu gelap bagi bundanya untuk melihat matanya sehingga ia tidak harus berpura-pura tidur.
Ibunya berdiri di ambang pintu untuk waktu yang lama. Dia bertanya-tanya apa yang bundanya lakukan ketika ia berdiri menatap ke kamarnya. Meskipun cahaya api lemah, mata Wawan telah terbiasa dengan kegelapan dan ia bisa melihat bahwa bundaya mengenakan baju tidur yang sangat, sangat tipis. Bahkan dalam remang cahaya api, ia dapat dengan mudah melihat siluet tubuh indah bundanya ketika ia berdiri memandang ke kamarnya.
Wawan bertanya-tanya dalam hati apa yang bundanya lakukan. Dia terkejut ketika bundanya perlahan-lahan bergerak dan melangkah ke kamarnya.