1 November 2020
Penulis — murbaut
Ibuku dan Tante Ani berteman baik, karena Ibu sering menjahitkan baju atau kebayanya pada Tante Ani. Kualitas jahitan Tante Ani diakui Ibu lebih baik daripada satu dua penjahit lain yang pernah Ibu datangi. Terlebih keluarga kami mempunyai prinsip jika seseorang atau perusahaan telah memberikan kepuasan kepada kami, maka kecil kemungkinan kami berpaling.
Perhatian Tante Ani kepada Ibu sering membuat Ibu menjadi sungkan sendiri. Sebab beberapa kali pesanan Ibu digratiskan pembayarannya. Hal itu disebabkan promosi tak langsung dari Ibu. Teman-teman Ibu bertanya di mana ia menjahitkan baju. Berawal dari satu dua orang teman Ibu yang menyatakan puas atas hasil kerja Tante Ani, sekarang Tante Ani telah mempunyai lebih dari dua puluh orang langganan tetap.
Tante Ani berumur empat puluh dua tahun. Suaminya telah berpulang empat tahun silam. Berwajah keibuan, cantik, sedikit bulat telur, tinggi badannya sepundakku. Lengan dan betisnya sedikit berambut tipis. Rambutnya sebahu lebih. Aku hanya bisa mengira-ira ukuran dadanya dari balik baju atau kebaya ketika Tante Ani memakainya, kemungkinan tiga puluh empat B.
Sedang dua bulatan di bawah pinggangnya kupikir masih cukup padat bila kubandingkan dengan teman-teman perempuanku. Tapi hal-hal seksualitas Tante Ani tak pernah terlintas dalam benakku. Aku hanya mengagumi kelembutan dan kecantikannya, juga karena aku menghormatinya sebagai teman Ibuku. Semua itu baru dapat kubuktikan ketika kejadian ini yang sebenarnya sebuah ketidak sengajaan, tetapi akhirnya berkelanjutan.
Kring.. kring.. suara telpon rumahku sudah lima menit tadi berbunyi. Sengaja aku tak mengangkatnya karena kesal saat sedang santai di rumah membaca buku jadi terganggu. Tapi kemudian aku bergegas akan mengangkat telpon ketika Ibu berteriak memanggil namaku agar segera mengangkatnya. Ahh.. telat, Ibu sudah mengangkat telpon.
Kulihat mata Ibu sedikit membesar yang kuartikan ada nada kemarahan di sana. Lalu Ibu tersenyum lebar ketika kudengar, “oh iya.. nggak apa-apa jeng. Iwan nggak kemana-mana kok. Iya nggak apa-apa.. kayak sama siapa aja tho jeng.. Habis ini biar dia beres-beres. Iya.. hati-hati nanti jeng.. “Hmm.. ada apa ya ini..
“Kamu nggak ada acara hari ini kan.. cepet mandi terus ganti baju. Temani Tante Ani nganter kebaya ke Malang. Nggak usah ngebut. Si Joko nggak bisa nyopiri soalnya sodaranya juga kawinan.” Rentetan kalimat Ibu tak bisa kusela dan rasanya tak mungkin juga aku menolaknya. Bisa dua hari diomeli Ibu nanti, belum lagi kalau Bapak nanti dikasih tahu Ibu.
“Bagus.. itu baru anak Ibu. Nggak usah ngebut nanti. Yang penting diterima sekitar jam dua.” Aku melirik jam dinding, “masih lima jam lagi. Semoga Porong nggak macet nanti.” “Iya Bu.. aku mau mandi sekarang,” jawabku. “Halahh.. mau santai di rumah kok ya gak bisa.
Tapi nggak apa-apalah. Tante Ani sudah kayak sodara.. cantik lagi. So di perjalanan bakal nggak mbosenin.. hehehe.” Aku senyum-senyum sendiri sambil berjalan ke kamar mandi. Sambil menggosokkan sabun berbagai pikiran melintas, “sampe jam berapa ya nanti. Moga nggak sampe sore biar nggak kemaleman nyampe rumah. Pake kaos aja nanti.. toh nggak nemani sampe acara jalan. Ngedrop baju, ngecek pas nggak, ngobrol sebentar terus balik.” Acara mandi selesai lalu aku masuk ke kamar, memilih kaos yang akan kupakai. Sedikit kusemprotkan parfum di pertengahan dada dan pergelangan tangan. Sebelum keluar kamar tak lupa kuselipkan salah satu gagang kaca mata hitam di kaos. Kucari Ibu di dapur untuk berpamitan.
Aku parkir sepeda motorku di depan rumah Tante Ani. Kulihat Rini salah satu pegawai Tante Ani menghampiriku, “masukkan aja Mas sepedanya. Ibu masih siap-siap di dalam.” “Hm.. ya,” jawabku sambil menuntun sepeda motor masuk rumah. Aku langsung menuju ruang sebelah kiriku karena hapal di situ tempat menata baju-baju serta kebaya pesanan orang.
Kulihat Tante Ani dibantu Ida sedang melipat kebaya-kebaya. “Kok dilipat,” pikirku. Pertanyaan itu belum terjawab bersamaan denting gelas beradu dengan es didalamnya kudengar dari sebelah kananku. Rini meletakkan gelas berisi teh serta tiga buah es di meja depanku. “Diminum Mas.. ,” katanya. “Eh.. ya.. makasih,” jawabku.
Baru kuperhatikan saat ini kalau Tante Ani memakai jeans biru gelap bersabuk model gelang, dipadu turtle neck model sleeveless warna pink. Glek.. mendadak aku harus menelan sedikit sisa es teh yang masih ada di mulut. “Shittt.. tambah cakep aja si tante. Paduan baju dan celananya cuocok.”
Lima belas menit kemudian Tante Ani selesai melipat dan memasukkan kebaya-kebaya itu di sebuah kardus khusus. Lalu ia menghampiriku, “maaf ya Mas lama nunggu..” “Oh nggak apa-apa Tante.. kan aku nggak kemana-mana hari ini. Pokoknya sampe selesai urusan Tante di Malang,” sahutku sambil tersenyum.
“Jadi gini Mas..rencana berubah. Nggak jadi pake mobil. Nggak tau itu kenapa nggak mau nyala mesinnya. Dua hari kemarin masih jalan kok..” “Boleh aku liat mobilnya Tante..?” “Aku ambil kunci dulu.. Mas ikut aja sekalian ke garasi.” Aku beranjak dari duduk dan mengekor Tante Ani. Bentuk pantat Tante setelah sedekat ini baru terlihat, ternyata memang menggoda. Masih menantang, cukup padat.
“Ahh.. kenapa jadi dag dig dug gini,” aku berusaha mengenyahkan pikiranku. Sesampainya di garasi Tante menyerahkan kunci mobilnya, “mobilnya yang itu Mas..” Kulihat sedan warna hijau pupus pada posisi di belakang pintu garasi. Aku buka kap mesinnya lalu kuputar kunci untuk menyalakan mesin.
“Gimana Mas.. apanya yang nggak nyambung?” tanya Tante Ani. Karena aku konsentrasi pada mesin mobil sehingga tidak memperhatikan kalau ia ternyata ada di sebelah kiriku. “Nggak tau nih Tante.. semua nyambung..” jawabku sambil sedikit meliriknya. “ternyata lengannya juga berambut tipis-tipis. Uhh.. semakin…” pikiranku melayang-layang lagi.
Rambutnya dijatuhkan semua ke sisi kirinya ketika menundukkan kepala melihat mesin mobil. Sekilas terlihat tali bh warna hitam dari sisi kanan kaosnya. “Aduh.. kenapa juga dia pake warna itu.. ,” perlahan terasa ada yang bergerak di bawahku. “Hiyaahhh.. gawat kalo dia sampe tau senjataku bangun..”, aku berusaha keras mendinginkan suasana di bawah sana. Aku lalu bergerak sedikit cepat untuk membantu hal itu dengan masuk ke mobil. Kuputar kunci lagi yang tetap tidak ada reaksi.
“Tetep nggak nyala Mas..?” sebentuk suara lembut bertanya. “Emm.. malah ikut aku.. ,” Tante Ani meletakkan satu lengan di kaca sopir yang kubuka, sedang yang kiri di atas body mobil serta kepalanya yang dijulurkan hampir mendekatiku.
Aku sengaja menatap petunjuk aki dan teman-temannya agar tidak menengok sebelah kananku, yang aku hampir yakin tinggal beberapa senti lagi dari bibir Tante Ani. “Kayaknya aki mobilnya Tante.. indikator aki agak redup itu.. ,” sambil kusentuh tanda aki.
“Jarang dicek ya Tante?” “Iya sih… hehehe. Habis si Joko mesti bilang iya Bu nanti aja, masih normal. Kalo kemarin-kemarin dicek pasti nggak gini.. huh.. ”, Tante Ani menggerutu. “Hehehe.. ya mo gimana lagi Tante. Kalo ngecas sekarang jelas nggak mungkin. Masak cuma sejam dua jam,” jawabku sambil menggerakkan tubuh mengisyaratkan akan keluar dari mobil. Tante Ani lalu beringsut mundur sedikit. Pintu mobil kututup dan kuserahkan kunci di tangannya.
“Haa.. gimana caranya Tante..?” aku bertanya dengan sedikit melongo dan garuk-garuk kepala. “Masuk aja yuk.. sekalian siap-siap berangkat,” Tante tidak menjawab pertanyaanku. Kembali kuikuti langkahnya. Tante Ani menuju sofa yang terdapat kardus coklat tempat kebaya-kebaya tadi dilipat.
“Ini aku yakin nggak melebihi lebar di bawah setang sepeda motormu Mas..masih cukup ditaruh situ.” Aku mengangkat kardus itu dan mencoba mengira-ira diameter bawah setang sepeda motorku. “Udah.. aku yakin bisa Mas. Tolong bawain ke depan ya Mas.. aku ambil jaket dulu,” dengan tersenyum ia menuju gantungan baju berputar lalu mengambil jaket warna coklat muda. Kemudian mengambil sepatu flat warna putih di rak sepatu-sepatunya di sebelah gantungan baju tadi.
Aku tak menjawab perkataannya karena mataku entah kenapa mengikuti terus langkahnya dari tempatku berdiri. Lalu aku melangkah ke halaman depan rumah dengan sedikit rona merah di pipiku yang aku yakin takkan terlihat oleh siapapun tadi. Kuletakkan kardus itu di bawah setang sepeda motor. Benar.. lebarnya hanya sedikit membuat kedua lututku membuka.
“Tuh.. pas tho.. hehehe.. ”, canda Tante Ani. Kepalaku menoleh ke kanan. Ia sudah memakai helm half face dan kaca mata hitam yang membuat orang tak menyangka kalau pemiliknya sudah setengah baya. “Hehehe.. iya Tante.. sip.. ,” aku tersenyum. Tanpa banyak bicara Tante Ani langsung menempatkan diri di belakangku.
Kudengar suara retsluiting jaket. “Yuk berangkat Mas.. biar nggak kesiangan.. ,” Tante berkata sambil sedikit memeluk pinggangku. “Tante ini tipe nggak basa basi. Belum kutanya kalo membonceng gini biasa pegangan handle samping atau gimana. Memang asyik orangnya.. ,” benakku berkata. “Ok Tante.. eh iya..
Tante biasa diajak ngebut atau santai aja?” “Kalo memang perlu ngebut ya nggak apa-apa. Terserah Mas aja.. yang penting kita selamat”. “Ya.. itu yang paling penting Tante,” sambil kutekan tombol starter. Tak berapa lama kami sudah ada di jalan utama. Sepanjang jalan jika keadaan memungkinkan kami berbincang.
Ketika salah satu harus bertanya atau menjelaskan dengan sedikit berteriak sebab di sebelah ada truk atau bus, yang membuat kami tertawa bersama. Lama-lama kurasakan kedua tangan Tante sudah menyatu di perutku. Sedikit banyak membuat aku terlena karena kedua gunungnya otomatis makin menekan punggungku.
Kami melewati terminal Arjosari pukul sebelas siang, langsung menuju gedung acara perkawinan di pusat kota. Kami diarahkan petugas untuk parkir di area khusus keluarga. Para kerabat dan panitia acara sudah berdatangan. Tante Ani disambut seorang wanita yang rupanya dari pihak wanita. Kami diantar ke ruang ganti keluarga pengantin.
Kardus coklat aku letakkan di salah satu meja rias lalu kudekati dan kusentuh bahu Tante Ani, “Tante.. aku taruh sini ya. Aku nunggu di luar. Kalo butuh bantuan sms ya..” Tante Ani yang sedang berbicara dengan ibu-ibu hanya mengangguk saja lalu kembali melanjutkan pembicaraan. Di luar gedung aku mencari tempat yang nyaman untuk melihat-lihat situasi sambil merokok.
Aku keluarkan handphone dari saku celana kiri dan kutekan shortcut opera mini. Sambil menunggu Tante Ani sejenak browsing ke sana sini. “Mas.. Mas Iwan.. ,” seperti ada suara memanggilku. Opera mini aku offkan dan kulihat di halaman parkir kiri kanan tidak ada orang yang aku kenal. “Mas.. Mas.. ,” baru aku sadar itu suara Tante Ani yang sudah berjarak sepuluh langkah dariku.
“Eh.. ya Tante.. sorry tadi asyik internetan.. hehehe.. ”, aku langsung membuka suara sambil nyengir. “Huu.. makanya aku panggil-panggil nggak denger.. ,” Tante menjawab dengan bibir sedikit maju. “Ayo masuk.. disuruh makan dulu sama Bu Retno. Habis itu jalan-jalan sebentar terus pulang,” sambil menggandeng tangan kiriku.
“Aku nggak gitu laper Tante..” “Ya nggak usah pake nasi. Cari aja kayak sup atau lainnya. Aku juga nggak makan nasi nanti Mas..” Di meja prasmanan khusus panitia dan kerabat sebelum acara mulai ada lima jenis masakan. Ada sate dan lontong di sana yang langsung aku tuju.
Kulihat Tante sedikit bingung akan mengambil apa lalu ia mendekatiku, “Iya ahh.. ambil sate juga. Ambilin buatku ya Mas.. jangan banyak-banyak lontong dan satenya.” “Ya Tante.. siap..,” sahutku. Tante Ani mengambil mangkok dan mengisinya dengan sedikit sup, kemudian membawa dua gelas air putih. Kucari kursi yang masih kosong di salah satu sudut ruangan. Aku serahkan piring berisi sate dan lontong ke Tante Ani.
Ia memilih memulai dengan sedikit menyendok sup. “Eh.. supnya enak juga lho Mas.. cobain nih..,” sambil langsung menyuap aku. Agak kaget aku dengan aksinya. Mau nggak mau kubuka mulutku dan kuseruput sup itu. Entah kalau ada yang melihat acara suap-suapan tadi. “Iya.. enak juga Tante.” “Kuambilin ya Mas?”
“Terus sekarang kemana Tante..?” tanyaku ketika akan keluar dari parkiran gedung. “Emm.. puter-puter Malang bentar ya Mas. Udah lama nggak ke Malang soalnya. Mau kan Mas..?” sambil menatapku. “Iya Tante.. pokoknya hari ini khusus buat Tante yang cantik… eh..” aku tak sadar mengucapnya dan langsung kupelankan suaraku.
“Hehehe.. makasih Mas.. eh.. tadi bilang apa?” “Aduh… dia denger nggak ya tadi..” jantungku berdebar sebab takut nanti Tante marah. “Nggak.. iya.. pokoknya siap anter kemana aja..,” aku menjawab dengan salah tingkah dan nada yang ke sana kemari. “Sip kalo gitu.. yuk jalan” Tante sedikit menghentakkan pantatnya di boncengan lalu memelukku erat.
Kami keliling kota Malang siang itu. Langit yang tadi cerah, di beberapa bagian terlihat mendung. Sialnya hal itu baru aku ketahui ketika sudah di daerah yang mendung. Aku lalu mengingat-ingat jas hujan ada di bagasi atau tidak. Lalu kuarahkan sepeda motor ke pinggir. “Ada apa Mas?” “Mau ngecek bawa jas hujan nggak Tante.”
Mengingat kami membawa sepeda motor maka oleh-oleh yang dibeli tidak terlalu banyak. Baru beberapa meter meninggalkan toko tiba-tiba hujan turun seperti tandon air yang jebol. Sebisa mungkin aku mengendalikan diri untuk tidak memacu sepeda motor walau harus mencari tempat berteduh. Berulang kali harus kusapu air yang menempel di kaca helm.
Tante Ani memelukku makin erat. Helmnya menekan kepala belakangku. Akhirnya kutemukan satu toko yang tidak terpakai. Kami berdua menggigil kedinginan. Entah ide dari mana atau suatu refleks saja, kupeluk Tante Ani. Tangan kanannya masuk ke jaketku dan memeluk pinggangku. Ia tak keberatan kupeluk rupanya.
Tante mendongakkan sedikit kepalanya dan tersenyum. Hujan masih turun tetapi sudah berkurang volumenya. Cukup lama untuk menanti hingga gerimis sekarang. “Gimana Tante.. nunggu sampe berhenti atau jalan lagi?” “Jalan aja Mas.. semoga nanti pas kita jalan berhenti hujannya.” Aku jalankan sepeda motor tidak terlalu cepat sebab jalanan licin.
Byur.. rupanya hujan sedang tidak bersahabat dengan kami. Sedikit panik aku mencari tempat berteduh yang belum kutemukan. Di kejauhan kulihat ada SPBU. Ada beberapa orang yang berteduh sementara di situ. Seluruh tubuh kami semakin basah. Kasihan Tante Ani, badannya tambah gemetar. Aku pegang dua tangannya.
“Tante.. kalo hujannya berhenti cari rumah makan atau warung ya.. ngopi atau jahe panas. Tante gemetaran gini soalnya. Kalo sampe pingsan bisa dikurung Ibu aku nanti..” Walau dengan badan menggigil Tante masih sempat mencubit perutku, “biarin.. biar kapok. Aku telponin sekarang, bilang kalo aku nggak diperhatiin.”
“Aduh.. jangan dong Tante. Terus maunya Tante gimana sekarang?” “Udah maghrib juga sekarang Mas. Cari penginapan atau hotel aja. Sekalian baju kita dikeringin.” “Haa.. nginep..? ntar dicariin Ibu..” “Udahh.. dipikir nanti. Yang penting sekarang kita cari hotel,” jawab Tante sambil menggandeng tanganku.
Gerimis mengiringi pencarian hotel. Sepanjang jalan hatiku bingung campur aduk. “Gimana bilang ke Ibu.. terus nanti ambil dua kamar. Aku nggak bawa uang. Emang Tante bawa duit banyak..” Kami sampai di depan sebuah hotel. “Di sini Tante?” Ia belum menjawab, mungkin berhitung berapa biaya semalam juga untuk makan dan cuci baju.
“Iya.. di sini aja. Tante udah nggak tahan dinginnya.” Segera kuparkir sepeda motor. Tante Ani masuk ke hotel dulu lalu menungguku di depan lift. Ia melambaikan tangannya saat aku mencari sosoknya. “Nih Mas kuncinya,” Tante menyerahkan gantungan kunci berkartu berlogo hotel dengan nomor 324. “Lhaa..
Kubuka pintu kamar dengan memasukkan kartu lalu kulepas untuk dimasukkan ke kotak lampu dan ac. Sebuah single bed cukup luas, sofa ukuran dua orang, televisi dua puluh satu inch, serta kulkas kecil yang ada di kamar. Kami melepas jaket dan sepatu. Saat akan melepas baju dan celana teringat kalau aku tak sendiri. Kulihat Tante mengeluarkan handphone dari tasnya. “Bu Retno.. maaf baru ngasih kabar. Saya nginep di Malang. Ditodong sama teman ketemu di gedung kawinan tadi. Kebetulan ada kamar kosong buat Mas Iwan. Iya.. terima kasih Bu..” “Tante nelpon Ibu? terus..,” tanyaku.
“Iya.. nggak apa-apa. Udah diijinin tadi. Hati-hati di jalan kalo pulang besok.” Aku tersenyum lega mendengarnya. Tante Ani sedang membuka daftar menu makanan. “Mas.. nanti pesenkan nasi goreng seafood sama jahe panas ya. Aku mau ke kamar mandi. Terus nanti panggilkan laundry ya..”
“Ya Tante.. nanti Tante pake baju apa?” “Emm.. nggak tau nanti..,” sambil masuk ke kamar mandi. Kudengar suara keran air mengisi bathtube. Kupilih mie goreng seafood dan jeruk hangat juga tambahan selimut pada room service. Kuputuskan nanti aku tidur di bawah saja, dialasi kain putih pembungkus selimut di ranjang. Kebiasaanku dari dulu menyimpan sejumlah uang di lipatan dompet ada benarnya. Kuhitung keseluruhan harga makanan dan tambahan selimut tidak lebih dari seratus ribu rupiah.
Tidak enak rasanya semua yang membayar Tante Ani. Lima belas menit kemudian terdengar bel pintu kamar. Petugas room service meletakkan pesanan kami di meja sebelah ranjang lalu keluar. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Kepala Tante Ani sedikit keluar dari balik pintu. “Nih Mas.. kalo laundrynya datang biar cepet dikerjain nanti,” dan melempar handuk putih. Aku yang masih kaget cepat menangkap handuk itu.
Kekagetanku belum lengkap sebab pintu kamar mandi kembali terbuka, “Mas.. kasihkan orangnya ya ini..” Kepala Tante keluar lagi juga tangan kanannya yang mengangsurkan kaos serta jeansnya. Aku berjalan menuju kamar mandi dan kuterima pakaian Tante. “Makasih ya Mas..,” sambil tersenyum manis. “Eh.. iya Tante..” Aku lepas baju dan celanaku. Hanya tubuh bawahku yang tertutupi handuk putih.
Baju, celana dan jaket Tante kutumpuk dengan milikku. Bel pintu terdengar lagi. Petugas laundry mengambil tumpukan pakaian di keranjang. Tante Ani keluar dari kamar mandi dengan handuk yang menutupi dada hingga separuh pahanya. Pria manapun pasti akan menatap pemandangan seperti itu. Tante sepertinya tidak ambil pusing dengan hal itu.
Ia menuju kaca besar di depan ranjang. Tersadar bahwa kemungkinan besar Tante memergoki tatapanku maka aku berkata, “pesanan sudah di meja Tante. Baju dan teman-temannya udah dibawa laundry. Ganti aku yang mandi ya..” Tante melirikku dari kaca, “iya Mas..” Kunyalakan shower dan kuatur panas dan dinginnya air.
Sambil mandi aku berpikir, “gilaa.. kayak nggak ada orang aja di kamar. Atau karena keadaan aja ya.. Hmm.. tubuh Tante memang masih bagus untuk yang seumuran. Nggak nyangka.. Dada dan pantatnya sungguh menggoda..” Senjataku dengan segera bangun. Aku berpikir apakah kuteruskan dengan onani atau tidak.
Tante sedang melihat film dari sebuah channel luar. “Makan yuk Mas.. laper aku..,” ketika melihatku sudah selesai mandi. “Iya.. aku juga laper. Mungkin karena kehujanan terus tadi.” Tante menarik sebuah kertas tanda lunas pesanan kami dari nampan. “Lho.. kok udah dibayar.. jadi ngrepotin kamu Mas..” “Nggak Tante.. kebetulan ada kok..,” jawabku.
Tante lalu duduk di kursi depanku. Jarak kami hanya dibatasi meja kecil. “Ayo makan Mas..” Sengaja aku minum seteguk jeruk hangatku dulu untuk membasahi tenggorokan yang mendadak langsung kering. Bagaimana tidak. Sebentuk wanita idaman pria ada di depanku. Hanya berbalut handuk lebar. Kutahu Tante tidak memakai bh dan celana dalam karena semua itu tergantung di kamar mandi.
Memang ada benarnya sebab keseluruhan baju kami basah luar dalam. Akhirnya aku juga membuka celana dalamku tadi sebelum mandi. Sesekali Tante menunduk mengambil gelasnya. Belahan dadanya sedikit terlihat. Paha yang berambut tipis dan makin kelihatan karena duduk, membuatku sekuat mungkin menekan keinginan senjataku yang ingin bangun. Pasti terlihat oleh Tante kalau itu terjadi.
Sekitar sepuluh menit kami makan tanpa ada pembicaraan, masing-masing merasa kikuk karena situasi. Mungkin agar suasana segera cair Tante berkata, “Tante lihat kamu jarang bawa teman cewek ke rumah Mas.. kenalin ke Tante juga dong.. hehehe..” Aku berusaha menatap matanya, tidak ke yang lain, “emang belum ada yg pas untuk jadi pacarku kok Tante.. teman biasa semua.. hehehe..” “Ah masa sih.. yang kapan hari aku ketemu di rumah Ma situ bukannya pacarmu?” “Oo si Nia.. nggak. Dianya aja yang pengen.. hahaha.” “Sok ye ah kamu Mas.. hahaha. Jangan kelamaan sendirian.. nggak bisa mesra-mesraan nanti.. hihihi.” “Kalo ada cewek yang kayak Tante pasti langsung kujadiin pacar.. hehehe.. ehm.. ehm..,” saat kuucap itu tenggorokan menjadi gatal seketika.
Kulirik sekejap mata Tante dan kebetulan ia juga menatapku. Tanpa meminta persetujuanku Tante mengambil jeruk hangatku dan meminumnya sedikit, “minta dikit ya Mas..” “Gak apa-apa Tante.. ambil aja.” “Kenyang aku Mas.. nggak habis. Aku mau tidur dulu ya.. capek,” kata Tante sambil meletakkan piring di meja lalu ke kamar mandi. Pintunya hanya ditutup tiga perempat. “Hmm.. Tante marah ya.. aku harus minta maaf nanti,” pikirku. Kuselesaikan makanku yang sudah tidak berselera. Tak lama Tante keluar dari kamar mandi. Sekarang aku yang masuk.
Saat keluar kulihat Tante di depan cermin sedang mengoleskan krim wajah juga menyemprotkan sedikit parfum di dada. “Mungkin kebiasaan Tante sebelum tidur semprot sedikit parfum kali ya..” Kemudian Tante naik ke ranjang, sebelum masuk ke selimut handuknya dilepas. “Met tidur ya Mas..,” ucapnya. “Iya Tante.. met tidur juga..” Terbayang dibenak bahwa di balik selimut ada sesosok wanita dewasa yang nyaris sempurna tanpa terbalut busana.
Kugeleng-gelengkan kepalaku sambil senyum-senyum sendiri. Kemudian kugelar secarik kain putih di bawah ranjang lalu kulepas handukku dan selimut kututupkan di tubuhku.