31 Oktober 2020
Penulis — besar_mantap
Sebenarnya wanita itu bukan ibu kandung istriku. Ia ibu tiri istriku. Usianya juga hanya 5 tahun lebih tua daripada istriku. Tapi tetap saja aku memanggilnya mamah, seperti Feni (nama istriku) memanggilnya. Mengenai ibu kandung Feni, aku hanya mendengar ceritanya saja, bahwa pada saat Feni berusia 18 tahun, ibu kandungnya meninggal dunia, karena menderita kanker ovarium.
Setelah hidup menduda selama setahun, ayah Feni menikah lagi dengan wanita yang jauh lebih muda, bernama Ratih, yang sekarang biasa kupanggil mamah, meski usianya hanya setahun lebih tua dariku. Pada saat kisah nyata ini dimulai, umurku 28 tahun dan wanita bernama Ratih itu 29 tahun, sementara istriku baru berusia 24 tahun. Di usia 28 tahun ini aku sudah punya seorang anak laki-laki yang berusia 3 tahun. Untuk ukuran masa kini, mungkin aku dan Feni termasuk pasangan yang cepat menikah, yakni ketika usiaku baru 24 tahun dan usia Feni baru 20 tahun. Tapi meski usiaku masih muda, nasibku tergolong bagus.
Karena aku sudah menduduki jabatan sebagai manager marketing di perusahaan besar, yang kebetulan milik pamanku sendiri. Ayah Feni kunilai pandai juga mencari pengganti istrinya yang sudah tiada. Istrinya yang bernama Ratih itu jauh lebih muda darinya. Pada saat kisah nyata ini dimulai, usia ayah mertuaku sudah 50 tahun. 21 tahun lebih tua daripada istrinya. Bukan cuma jauh lebih muda daripada suaminya, ibu tiri istriku itu sangat menarik, meski kulitnya tidak seputih kulit istriku. Ya, ibu mertuaku itu tergolong wanita yang hitam manis, bertubuh indah laksana biola stardivarius.
Tapi sampai saat kisah nyata ini dimulai, dia belum punya anak juga. Entah dia yang mandul atau suaminya yang tak mampu lagi membuahinya. Entahlah. Yang jelas, istriku pernah bilang padaku, bahwa ibu tirinya itu baik sekali. Jauh berbeda dengan cerita-cerita tentang ibu tiri yang kejam. Setelah menikah, aku memboyong istriku ke Jakarta, agak jauh dari kampung halaman istriku yang terletak di sebuah kota kecil dekat perbatasan Jabar dan Jateng. Tapi aku dan istriku sering menengok mertuaku di kampungnya, sering pula kedua mertuaku datang ke Jakarta dan menginap beberapa hari di rumahku. Istriku cantik dan berkulit putih kekuning- kuningan. Bersih dan anggun, bertubuh tinggi semampai.
Sementara ibutirinya hitam manis dan agak montok.
Bentuk mereka jauh berbeda, karena memang bukan ibu dan anak kandung. Mata istriku juga agak sipit seperti wanita Tionghoa, sementara ibu tirinya bermata bundar.
Suatu perbedaan yang menyolok juga. Dan kalau kubanding-bandingkan siapa yang lebih seksi, harus kuakui bahwa istriku kalah seksi. Ya, dengan sejujurnya harus kuakui bahwa ibu mertuaku itu jauh lebih seksi! Tapi tadinya aku tak pernah memikirkan hal-hal yang tak sepantasnya kupikirkan.
Meski usia wanita itu hanya setahun lebih tua dariku, sikapku tetap hormat sebagaimana layaknya seorang menantu kepada mertuanya. Kalau bertemu dengannya, selalu kubiasakan mencium tangannya, sebagaimana layaknya sikap seorang anak kepada orang tuanya. Pada waktu ngobrol pun aku selalu bersikap sopan dan ramah. Tak pernah membicarakan hal-hal yang tak pantas dibicarakan. Ia juga bersikap sebagaimana layaknya seorang ibu mertua kepada menantunya. Sampai pada suatu saat terjadilah peristiwa berikut ini. Ibu mertuaku datang ke Jakarta dan menginap selama beberapa hari. Tanpa suaminya, karena di kampung istriku sedang ada kesibukan pemilihan bupati baru.
Setelah beberapa hari “mamah” menginap di rumahku, kebetulan aku ada jadwal mau ke Purwokerto.
Aku pun memberitahu istriku tentang jadwal itu. “Kapan berangkatnya Mas?” tanya istriku. “Nanti malam, supaya besok pagi sudah tiba di Purwokerto,” sahutku. “Wah, kebetulanMamah juga mau pulang besok. Mas Didi lewat kampungku kan?” “Iya pasti lewat, karena gak ada jalan lain. Emang kenapa?” “Mamah kan jadi bisa numpang sama Mas,” istriku memegang pergelangan tanganku. “Boleh aja,” aku mengangguk.
“Sebentarmau kasitau Mamah dulu.” istriku melangkah ke arah kamar tamu, di mana ibu mertuaku ditempatkan. Begitulah.
Malam harinya aku sudah berada di belakang setir sedanku, meluncur dalam kecepatan tinggi di jalan tol Cipularang. Sementara ibu mertuaku duduk di sampingku, sambil mengajak ngobrol ke barat ke timur.
Tapi beberapa saat kemudian dia kelihatan sudah mulai ngantuk. Maklum saat itu sudah hampir tengah malam.
Dan inilah awalnya. Awal dari perubahan yang terjadi pada batinku. Bahwa berkali- kali kepala mertuaku terangguk- angguk dengan mata terpejam. Bahkan berkali-kali pula pipinya menyentuh pipiku. Sehingga harum parfumnya tersiar ke penciumanku dan kehangatan pipinya pun terasa di pipiku.
Ini tidak mengganggu konsentrasiku, karena kebetulan mobilku automatic transmission. Tapi kenapa pikiranku jadi melayang- layang tak menentu gini ya? Biasanya kalau melalui jalan tol Cipularang, aku suka beristirahat di salah satu rest area. Sekadar mengisi perut atau minum kopi, sambil mendinginkan mesin mobil.
Tapi saat itu aku tidak beristirahat, kupacu terus mobilku dalam kecepatan di atas 100 km/jam, dengan perasaan bercampur aduk.
Kebetulan pengguna jalan tol malam itu tidak terlalu padat, sehingga aku bisa keluar daripintu tol Cileunyi- Bandung jauh lebih cepat dari biasanya. Kini mobilku menempuh jalan biasa, di tengah sepi dan gelapnya malam. Pada waktu berada di daerah Nagreg, hujan turun dengan derasnya. Gilanya AC mobilku tidak jalan sebagaimana mestinya.
Mungkin gas freonnya sudah habis, sehingga kaca depan berembun dan membuat pandanganku tidak leluasa.
Terpaksa kubelokkan mobilku ke bahu jalan, lalu kuhentikan. “Kenapa berhenti di sini?” tanya mertuaku yang terbangun sambil menggesek- gesek matanya. “ACnya gak jalan, Mah. Mungkin freonnya sudah habis,” sahutku. “AC gak jalan gak apa-apa, kan udaranya juga dingin begini.” “Tapi kacanya berembun, gak bisa lihat apa-apa, Mah.” “Ohiya ya.” mertuaku baru mengerti bahwa kalau AC gak jalan bisa membuat kaca berembun dan menghalangi pandangan. “Kita tunggu dulu sampai hujannya reda aja, ya Mah,” kataku sambil merebahkan sandaran kursiku. “Iya,” sahut mertuaku,“Tapi ngantuk gini. mau tidur lagi ya.” “Silakan aja Mah” Nah. kini mulai lagi terjadi sesuatu yang membuat pikiranku tak menentu. Bahwa mertuaku merebahkan kepalanya di atas pahaku. “Iiih dingin sekali, Di.” gumam mertuaku sambil memegang kedua tanganku.
Lalu menempelkannya di sepasang pipinya. Sementara diluar mobilku, hujan malah semakin deras saja, seperti dicurahkan dari langit. “Di tas saya ada selimut,” kataku, “Tapi tasnya ada di bagasi.
Untuk ngambilnya harus hujan-hujanan dulu, Mah.” “Gak usah ambil selimut segala lah. Nanti kamu kehujanan malah sakit pula.” “Sini deh ta pelukin biar Mamah jangan kedinginan,” kataku sambil memeluk leher mertuaku. “Kalau mau hangatin mamah, kesiniin tangannya,” kata mertuaku sambil meraih tanganku ke dalam blouse bagian dadanya. Membuatku degdegan, karena aku menyentuh beha mertuaku.
Tapi aku bukan lelaki bodoh.
Aku mulai mengerti apa yang diinginkan olehnya. Maka dengan hati-hati kuselinapkan kedua tanganku ke dalam behanya. Wowaku sudah menyentuh buah dada yang montok itu. Dan aku menunggu reaksinya. Ternyata ia diam saja. Sehingga aku makin beranimeremas sepasang payudara montok itu dengan kedua tanganku.
Bahkan sesekali kupelintir pentil teteknya dengan hati- hati, karena tak mau dianggap kasar. Dandi luar dugaanku, tangan mertuaku menarik ritsleting celanaku. Apa yang akan dilakukannya? Aaah. tangannya menyelinap ke balik celana dalamku.
Memegang batang kemaluanku yang sudah agak mengerasmembuat pikiranku makin galau. Terlebih ketika kurasakan tangannya mulai meremas penisku dengan lembut sehingga senjata pusakaku mulai ngaceng berat! Tiada kata-kata yang terlontar dari mulut kami.
Elahan napas kami pun tertelan oleh suara gemuruh hujan yang begitu derasnya.
Kubiarkan ia meremas-remas batang kemaluanku. Dan aku pun tak mau kalah. Tangan kiriku tetap asyik meremas- remas buah dada montok mertuaku, tapi tangan kananku mulai menyelinap ke balik rok mertuaku. Mulai menyelusuri kehangatan pahanyamerayap sedikit demi sedikit ke atas. sampai menyentuh celana dalamnya di kegelapan ini. Gilanya, ia malah merenggangkan pahanya, seperti sengaja memberiku keleluasaan untuk melakukan apa yang kuinginkan. Aku sangat bergairah melakukannya.
Menyelinapkan tanganku ke balik lingkaran karet celana dalamnya, menyentuh bulu kemaluannya yang ternyata lebat sekalimenyentuh dan mengelus bibir kemaluannya dengan nafsu yang mulai menggelegak. Meski dalam keadaan gelap, aku sudah bisa memperkirakan di mana letak kelentitnya. Dan setelah yakin bahwa aku sudah berhasil menyentuh kelentit mertuaku, jemariku mulai beraksi mengelusnya dengan lembut. Terasa tubuh mertuaku mulai mengejang- ngejang, sementara kemaluannya pun mulai basah dan hangat. “Di.” “Ya Mah?” “Iiihmamah jadi kepengen.” “Sama mah saya juga jadi pengen” “Tapi jangan di sini ah” “Tentu aja tidak di sini. Setelah hujan reda nanti kita cari hotel ya.” “Tapikamu kan harus sampai di Purwokerto nanti pagi.” “Ahsoal itu bisa diatur Mah.” “Mmmmpunyamu udah keras gini ih gemesssss.!” cetus mertuaku sambil mempermainkan penisku yang memang sudah sangat keras ini. “Punya Mamah juga udah basah gini.. hmmmmalam ini bakal ada kisah indah di antara kita, ya.” “Ya udah. cari tempat aman dulu dong. Hujannya udah reda tuh” “Iya, iya” sahutku sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalam mertuaku. Ia juga melakukan hal yang sama, mengeluarkan tangan dari balik celana dalamku, kemudian menarik ritsleting celanaku sampai tertutup lagi.
Kuambil kanebo dari dashboard untuk mengelap embun yang masih menutupi pandangan di kaca depan.
Tak lama kemudian aku sudah memacu lagi mobilku ke arah timur. Sinar lampu mobilku menyeruak di tengah kegelapan malam. Sikap mertuaku sudah sangat berubah. Dengan sengaja ia menempelkan pipinya ke pipiku. Bahkan satu saat ia mengecup pipiku dengan mesra, sambil berkata, “Kamu tau gak sejak melihatmu bersama Feni, mamah udah simpati padamu.” “Sama Mah.
Saya juga pas baru bertemu dengan Mamahsaya kaget karena calon mertua kok muda sekaliseksi pulatapi saya gak berani macem- macem, takut jadi onar,” sahutku tanpa mengurangi kecepatan mobilku. “Mamah juga gitu. Takut heboh.
Soalnya mamah sayang sama Feni. Mamah gak mau nyakiti hatinya.” “Feni juga sering cerita, Mamah baik sekali.
Jauh berbeda dengan kisah- kisah lama tentang kejamnya ibu tiri.” “Sekarang sih udah jarang ibu tiri yang kejam seperti dongeng-dongeng itu.
Mmmkalau kamu mau, panggil aku Ratih aja, gak usah mamah-mamahan.” “Gak ahtakut kelupaan manggil Ratih di depan Bapak atau Feni. Bisa menimbulkan kecurigaan nanti.” Mertuaku mencium pipiku lagi, lalu berbisik, “Iya deh. Pokoknya mulai malam ini kamu jadi menantu tercinta.” Aku cuma tersenyum di belakang setirku. Senyum kemenangan.
Karena tanpa diduga malam ini aku mengalami sesuatu yang luar biasa. Ketika mau melewati papan nama sebuah hotel, kukurangi kecepatan mobilku. Lalu kubelokkan ke pekarangan hotel itu. Jam sudah menunjukkan pukul 02.15 pagi. “Kelihatannya hotel ini agak nyaman,” kataku, “Di sini aja ya Mah.” “Terserah kamu aja, sayang.” sahut mertuaku dilanjutkan dengan kecupan mesra lagi di pipiku. Kamar hotel ini bersih sekali meski bukan hotel berbintang.
Kuberikan tip buat bellboy yang membawa tasku dan tas mertuaku. Dia mengucapkan terimakasih, lalu keluar dan menutupkan pintu. “Sebentar mamah mau cuci muka dulu ya,” mertuaku melangkah ke arah pintu kamar mandi sambil mengepit handuk dan daster yang baru dikeluarkan dari tasnya. Aku mengangguk, sambil mengeluarkan baju dan celana piyama dari dalam tasku. Lalu melangkah ke pintu kamar mandi yang tampak tidak tertutup penuh.
Mertuaku terkejut, karena dia sedang telanjang bulat! Aku juga terkejut, karena kusangka dia cuma sedang cuci muka seperti yang disampaikannya tadi. Cepat kunilai tubuh telanjang mertuaku itu, bukan main indahnya. Toket dan pantat gede, pinggang kecil dan semuanya tampak padat.
Membuatku sangat tergiur dan menghampirinya. Memeluk tubuh telanjang itu dari belakang. Tapi mertuaku menepiskan pelukanku sambil berkata, “Sabar dong nanti juga mamah kasihkan semuanya buat kamu, Di.
Tunggu dulu dong di luar.
Mamah mau bersih-bersih dulu nih.” Aku berusaha sabar dan tak memaksa-maksa.
Kulepaskan pelukanku, “Iya Mahsaya cuma mau bersih- bersih juga,” kataku sambil menanggalkan seluruh pakaianku, hanya celana dalam yang kubiarkan melekat di tubuhku. Kemudian kukenakan celana dan baju piyamaku. Cuci muka di washtafel, lalu keluar lagi dari kamar mandi itu. Aku berusaha sesabar mungkin, duduk di sofa panjang dekat tempat tidur, menunggu mertuaku keluar dari kamar mandi. Tak lama kemudian dia muncul. Sudah mengenakan daster sutra putih bermotif bunga mawar berwarna pink. Dengan senyum manis di bibir sensualnya. Tanpa ragu ia duduk di atas pangkuanku, sambil memeluk leherku dan mendarat ciuman hangat di bibirku. “Sekarang mamah jadi milikmutapi jangan sampai Feni dan Bapak tau ya” katanya setengah berbisik. “Iya Mahgak nyangka malam ini Mamah akan menjadi milik saya,” sahutku sambil menggelutkan bibirku ke lehernya. “Di sana aja yok, biar leluasa,” kata mertuaku sambil menunjuk ke tempat tidur. “Iya,” aku mengangguk lalu mengikuti mertuaku yang sudah duluan naik ke atas tempat tidur. Ia sudah duluan menelentang pasrah. Aku pun menerkamnya dengan lembut, karena aku tak mau terkesan kasar. Biar bagaimana dia itu mertuaku, meski ada sebutan “tiri”. Kami bergumul mesra di atas tempat tidur, lalu dengan tak sabar aku berusaha menanggalkan daster sutranya. Dan setelah daster sutra itu kutanggalkan, kusaksikan pemandangan yang sangat menggiurkan.
Karena ternyata mertuaku tak mengenakan apa-apa lagi di balik daster sutra itu. Dan tampaklah dengan jelas sekujur tubuh mertuaku yang masih muda dan sangat menggiurkan ini. Sepasang payudara yang montok, yang tadi sudah kurasakan betapa kencangnya. Perutnya yang kecil dan terawat, lalu di bawah perutnya gundukan kemaluan yang ditutupi jembut tebal, sungguh jauh berbeda jika dibandingkan dengan istriku. Karena istriku berpayudara kecil, sementara bulu kemaluannya selalu dicukur habis (dengan alasan kebersihan). Aku merangkak ke atas tubuh mertuaku.
Mempermainkan payudara montoknya sambil berkata, “Payudara Mamah montok gini. Tapi kencang sekali.
Payudara Feni juga kalah kencang, Mah.” “Ya iyalah,” sahutnya, “mamah kan belum pernah menyusui bayi.” Bicara begitu, tangannya mulai membuka kancing baju piyamaku satu persatu.
Sehingga aku mengerti bahwa mertuaku ingin agar aku mulai telanjang juga. Maka kupelorotkan celana piyamaku sampai terlepas dari kakiku.
Mertuaku duduk dan menurunkan celana dalamku dengan sikap seperti tak sabar. Dan tersenyum menggoda ketika melihat batang kemaluanku yang memang sudah berdiri kencang ini. “Punyamu gagah banget, Di. Panjang gede ginilangsung keras pula” katanya sambil mengelus batang kemaluanku dengan hangatnya. “Emangnya punya Bapak gimana?” tanyaku sambil mengelus bulu kemaluan mertuaku yang hitam lebat itu. Dan ketika kuselusupkan jariku ke liang kemaluannya, ternyata sudah membasah. “Punya Bapak tidak sepanjang dan segede punyamu ini,” sahutnya, “lagian dia kan udah tua. kerasnya gak sempurna seperti punyamu ini. Mmmm langsung masukin aja, Di.” “Kok buru-buru banget, Mah?” aku agak heran ketika batang kemaluanku ditarik dan ditempelkan di mulut vagina mertuaku. “Mamah udah horny sejak di jalan tadi,” sahutnya, “Lagian biar jadwal kerjamu gak terganggu. Jadi setelah selesai, bisa melanjutkan perjalanan ke Purwokerto. Biar mamah ikut aja ke Purwokerto. Kan di sana juga pasti banyak hotel.” “Mamah mau ikut ke Purwokerto?” “Iya. Laporin aja sama Feni bilangin aja mamah belum pernah ke Purwokerto dan ingin tau sekarang, mumpung bisa numpang sama kamu.” “Bolehboleh” kataku bersemangat, “Nanti di Purwokerto kita bercinta sepuasnya, ya Mah.” “Iya, sayaaaang.” mertuaku mencium bibirku. Lalu katanya, “Dorong dong. jangan dibiarin nempel doang” Kujawab dengan tindakan. Kudesakkan penisku kuat- kuat. blesss. masuk sedikitdorong lagimasuk makin dalam. Mertuaku langsung memelukku, “Duuuhudah masuk, sayang.” rengeknya disusul dengan kecupan hangat di pipiku. “Punya Mamah sempit banget.” kataku sebelum melanjutkan gerakan penisku.
“Ya iyalahmamah kan belum pernah melahirkan. dipakai sama Bapak juga cuma dua minggu sekali” sahut mertuaku sambil mengelus kepalaku. “Iya Mahooohini enak banget Mah.” cetusku sambil mengayun batang kemaluanku di dalam jepitan liang kemaluan mertuaku, “Jujur Mahpunya Mamah ini lebih asyik daripada punya Feni” “Hush! Jangan menjelekkan istrimu sendiri, sayang” mertuaku mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya, dengan gerakan- gerakan erotis dan terlatih.
Makin lama goyangan pinggul mertuaku makin menggila.
Terkadang menghentak- hentak, mungkin supaya kelentitnya tergesek-gesek oleh batang kemaluanku yang sedang mengenjot liang vaginanya. Rintihan-rintihan histerisnya pun makin lama makin menjadi-jadi, “Uuuh Didi ooohenak banget Di. mamah belum pernah merasakan yang seenak ini Dioooohmmmm. iya, genjot yang cepat Dioooh ssshmamah udah mau keluar nih. gilaaakoq punyamu enak banget gini sih. oooohsssshh” Lalu ia mencengkram bahuku sambil terpejam dan merengek manja, “Didiiii. mamah keluaaar.. ooooh. enak banget sayaaaang. ssshhhhh.” Sebenarnya aku pun merasakan kenikmatan yang fantastis, yang tak pernah kudapatkan dari istriku sendiri, terutama pada waktu kurasakan liang kemaluan mertuaku berkedut-kedut pada waktu mencapai orgasme. Aneh memang, kemaluan mertua tiriku malah jauh lebih nikmat. Mungkin karena selama ini istriku terlalu tradisional. Dalam setiap melakukan senggama, tak pernah macam-macam.
Menggoyang pinggul pun tak pernah. Dan aku tak pernah menyuruhnya harus begini- begitu. Sehingga kadang- kadang aku merasa jenuh dalam soal seks dengan istriku. Aku masih mengayun batang kemaluanku yang sedang enak-enaknya bergesekan dengan dinding liang vagina mertuaku. Ia masih tampak lesu. Tapi berkali-kali bibirku dipagutnya, dilumatnya dengan penuh kehangatan, membuatku semakin bergairah untuk memompakan batang kemaluanku. “Kamu tangguh sekali, sayang” katanya pada suatu saat, “Mau nyobain mamah di atas?” “Boleh,” sahutku sambil menghentikan ayunan batang kemaluanku, lalu menggulingkan diri ke samping, sambil memeluk pinggang ibu tiri istriku, supaya batang kemaluanku tidak terlepas dari cengkraman liang vaginanya.
Kini aku menelentang, sementara mertuaku menelungkup di atas dadaku.
Sesaat kemudian ia menekuk lututnya, sementara kedua tangannya menahan ke kasur, sehingga seperti sedang merangkak. Lalu ia mulai menggerak-gerakkan pantatnya, naik turun, sehingga batang kemaluanku dibesot-besot oleh cengkraman liang vaginanya yang terasa legit itu. Oh, mertuaku tercinta. nikmat nian bersetubuh denganmu ini! Sepasang payudara mertuaku yang montok dan bergoyang-goyang di atas dadaku, tentu tidak kubiarkan “menganggur”. Kuremas- remas dengan penuh gairah.
Sementara ia samakin ganas menaik- turunkan pantatnya, sehingga sering terasa puncak penisku menyundul- nyundul dasar liang vagina mertuaku. Terkadang kuraih leher ibu tiri istriku itu, kemudian kulumat bibirnya dengan sepenuh gairahku.
Tapi posisi ini membuatnya cepat orgasme lagi. Hanya beberapa menit ia kuat bertahan main di atas, kemudian ia ambruk ke dadaku sambil merintih, “Mamah udah keluar lagi, Di. ooooooh..” Ia mencubit pipiku yang dibanjiri keringat.
Dan berkata, “Mamah kan biasa main sama kakek- kakek. Sekalinya ketemu orang mudamana tahan?” Kujawab dengan senyum.
Kubiarkan ia berkali-kali menciumi pipiku. Lalu kugulingkan tubuhnya agar posisinya di bawah lagi, tapi aku kurang hati-hati menggulingkannya, sehingga batang kemaluanku terlepas dari jepitan liang kewanitaannya. Setelah ia celentang, aku bermaksud membenamkan lagi batang kemaluanku ke dalam liang vaginanya. Tapi ia mengelap dulu vaginanya dengan handuk yang tersimpan di bawah bantal. Aku baru nyadar bahwa ia sudah menyiapkan handuk itu di bawah bantal. Setelah mengelap kemaluannya, ia menelentang lagi sambil merentangkan kedua pahanya lebar-lebar, “Ayo lanjutkan” katanya sambil tersenyum.
Tanpa basa-basi lagi aku merangkak ke atas perutnya, sambil memegang batang kemaluanku dan menempelkan puncaknya di mulut vagina mertuaku. Lalu kudorong kuat-kuat. Terasa seret karena liang vagina mertuaku sudah dikeringkan.
Tapi dengan susah payah aku berhasil membenamkannya sedikit demi sedikit. Lalu kuayun lagi batang kemaluanku, maju mundur di dalam jepitan liang kemaluan mertuaku. Kembali ia mendekapku erat-erat. Sambil menciumi bibir dan pipiku yang sudah keringatan.
Pantatnya pun mulai bergoyang meliuk-liuk seperti penari ular. Kurasakan lagi nikmatnya bersetubuh dengan ibu tiri istriku ini. Dan sejujurnya kuakui, ini merupakan persetubuhan yang paling nikmat bagiku.
Entah kenapa, rasanya jauh lebih nikmat daripada menyetubuhi istriku sendiri.
Begitu asyiknya aku mengayun batang kemaluanku, sampai pada suatu saat kudengar rintihan mertuaku, “Diii mamah udah mau keluar lagi.” “Duh saya juga mau keluar Mah barengin ya biar enak” kataku sambil mempercepat enjotan batang kemaluanku.
“Jangan sayang. nanti kalau mamah hamil gimana? Lepasin di mulut mamah aja ayooomamah sedot nanti airmaninya sampai habis..” “Duhbener Mah?” “Iya, cepetan. uuuuh. mamah udah keluar nihcepetan siniin kontolnya,” kata mertuaku sambil mengangakan mulutnya.
Buru-buru kucabut batang kemaluanku dari liang vagina mertuaku, kemudian bergerak secepatnya, mengangsurkan penisku ke dalam mulut mertuaku yang sudah ternganga itu. Happpph! Mulut mertuaku menangkap penisku dengan tangkasnya.
Lalu kurasakan sedotan dan elusan lidahnyaluar biasa nikmatnya. membuatku menahan napaskemudian mendengus.
uuuuuughhhh “Mamaaaahhhhh.” lenguhku sambil memegang kepala mertuaku yang tengah menyedot batang kemaluanku. gilabanyak sekali rasanya air maniku terpancar menyemprot- nyemprot tenggorokan mertuaku. dan gilanya lagi, mertuaku menelannya sampai habis! Rasa haru dan sayang menyeruak dari dalam batinku. Karena istriku sendiri belum pernah memperlakukanku seperti itu.
Maka setelah kucabut penisku dari mulut mertuaku, dengan penuh rasa cinta kuciumi pipi, bibir dan kelopak matanya.
“Saya jadi sayang banget sama Mamah..” bisikku.
Mertuaku menjawab lirih, “Mamah juga sayang kamu, Di.” Meski status wanita itu sebagai mertuaku, tapi sikapku padanya sudah sangat berubah. Pada waktu ia mau turun dari tempat tidur, kupeluk pinggangnya dari belakang. Dan aku berbisik ke telinganya, “Saya bahagia sekali bisa memilikimu, Mah.” Wanita muda itu menatapku dengan mata bergoyang, lalu mencium pipiku sambil berkata, “Jujur aja, mamah baru sekali ini merasa puas dengan lelaki.” “Sama Mah. saya juga gitu.” “Emang dengan Feni gak pernah puas?” “Yahhh begitulah. dia masih muda, tapi terlalu kolot dalam soal seks. Tapi biarlah, karena sekarang sudah punya Mamah. Kalau kangen kan bisa ketemuan ya?” “Iya, gampang. Kalau mamah ke Jakarta kan bisa ketemuan dulu di suatu tempat. Setelah kamu puas, baru mamah ke rumahmu. Tapi kita harus hati-hati. Jangan bersikap aneh di depan Bapak dan Feni.” “Iya Mah.” Lalu ia turun dari tempat tidur, melangkah ke kamar mandi. Terdengar suara air gejebar-gejebur di sana. Mungkin ia sedang bersih- bersih. Tak lama kemudian ia muncul lagi di balik daster sutranya. “Kalau melanjutkan perjalanan ke Purwokerto sekarang, kuat gak?” tanyanya sambil menyisiri rambutnya yang acak- acakan. “Kuat Mah.
Nanti istirahatnya di Purwokerto aja. Mamah jadi kan ikut ke Purwokerto?” “Iya,” mertuaku mengangguk.
Beberapa saat kemudian, aku sudah memacu lagi mobilku ke arah timur, pada saat fajar baru menyingsing. Pada saat aku konsentrasi mengemudikan mobilku, Mamah tiada hentinya menggodaku, tapi tidak memecahkan konsentrasiku.
Bahkan ketika tangannya menyelinap ke dalam celanaku dan meremas- remas penisku dengan binalnya, aku tetap bisa menyetir mobilku dengan baik. Ketika Feni meneleponku, sebenarnya Mamah masih menggenggam penisku. Tapi aku tidak gugup dan tetap bicara dengan normal: “Sudah sampai mana Mas?” tanya Feni di speaker handphoneku. “Sudah masuk Jateng. Mamah ikut nih.
Pengen tau Purwokerto katanya.” “Ohya?! Gak mengganggu kegiatan Mas Didi nanti?” “Gaklah. Mungkin di Purwokerto bisa pisah dulu.
Pada waktu aku selesaikan tugasku, Mamah bisa keliling pasar atau nunggu di rumah makan.” “Belikan sesuatu buat Mamah di Purwokerto, ya Mas.” “Iya. Beres.” “Mana Mamahnya? Aku pengen ngomong” “Lagi tidur bangunin aja?” aku mengedipkan mata kepada mertuaku yang tampak canggung. Mungkin ada perasaan bersalah karena sudah “mencuri” milik anak tirinya. “Owhgak usah deh.
Biarin aja kalau lagi tidur sih.
Titip aja ya Mas. Dan maaf kalau kehadiran Mamah jadi mengganggu kegiatan Mas.” “Everything is okay, honey.” Setelah hubungan telepon ditutup, Mamah meremas- remas lagi batang kemaluanku yang sejak tadi digenggamnya, “Apa kata Feni tadi?” tanyanya. “Cuma bilang beliin hadiah buat Mamah di Purwokerto nanti.” “Padahal hadiahnya udah mamah dapetin ya? Ini kan hadiah yang sangat berharga buat mamah,” kata mertuaku sambil memijat-mijat batang kemaluanku. Dulu waktu istriku sedang hamil, aku pernah tergoda oleh seorang janda muda. Tapi aku hanya ketemuan satu kali dengannya di sebuah hotel. Dan aku tak pernah ketemuan lagi dengannya. Mungkin saat itu aku hanya iseng dan ingin menyalurkan nafsu syahwat semata. Setelah menikmati sekujur tubuhnya, penasaranku hilang. Dan tak ingin mengulanginya. Berkali- kali ia mencoba menghubungiku dan mengajak ketemuan lagi, tapi aku selalu menghindar, karena tak punya niat ketemuan lagi dengannya.
Katakanlah janda yang pernah kugauli itu tidak punya greget yang kuat. Tidak membangkitkan perasaanku untuk mengulangi petualangan dengannya. Tapi ibu tiri istriku ini sangat berbeda. Gregetnya kuat sekali. Dan aku yakin kisah petualanganku dengannya akan berlanjut terus sebagai kisah indah yang panjang dan penuh rahasia. Setibanya di Purwokerto, aku cek in di sebuah hotel yang lumayan bagus. Begitu kami sudah berada di dalam kamar yang tertutup, langsung kusergap pinggang mertuaku dan kulumat bibirnya dengan penuh gairah. Dan diam- diam tanganku mulai menyentuh ritsleting di bagian punggung gaun terusannya, lalu kutarik dan kulepaskan gaun itu dari tubuhnya.
Kupandang tubuh sexy yang tinggal mengenakan beha dan celana dalam itu. Barangkali aku harus sejujurnya mengakui bahwa ibu tiri istriku ini lebih menarik daripada istriku sendiri.
Terlebih setelah beha dan celana dalamnya kulepaskan, seketika itu juga penisku terasa mengacung di balik celanaku. Anehnya, ketika tanganku baru mengelus punggungnya saja, hasratku langsung menggebu-gebu.
“Gak mau ngurus kerjaan dulu? Kan mumpung masih pagi,” kata mertuaku ketika aku mendorongnya sampai rebah di atas tempat tidur.
“Ngurus ini dulu lebih penting,” sahutku sambil menarik celana dalam mertuaku, sampai terlepas dari kakinya. Ibu tiri istriku ketawa kecil, sambil mencubit pipiku. Dan dengan telaten ia melepaskan pakaianku sehelai demi sehelai, sampai tiada apa-apa lagi yang melekat di tubuhku. Lalu dengan sorot mata bergairah, ia menelentang sambil merentangkan kedua pahanya lebar-lebar, seolah mempersilakan padaku untuk menyetubuhinya lagi sepuasku. Dan ketika batang kemaluanku mulai membenam ke dalam liang kewanitaannya, ia mendekapku dengan hangat. Gesekan surgawi pun kurasakan lagi. Gesekan antara penisku dengan liang kewanitaan ibu tiri istriku. Kali ini kami lebih gila menikmati indahnya bersenggama.
Bermacam posisi kami lakukan. Kadang mertuaku main di atas, kadang ia menungging dan kuentot dari belakang dalam posisi doggy dan semua posisi yang bisa kami lakukan. Bahkan di kamar mandi, ketika kami mandi bersama, kami bersenggama lagi sambil berdiri. Aduhai indahnya semua itu.. takkan terlupakan seumur hidupku. Dan aku yakin bahwa semuanya itu baru awalnya. Di hari-hari berikutnya pasti mertuaku bisa kuajak lagi dengan mudah, tapi tentu saja harus serapi mungkin, jangan sampai suaminya dan istriku tahu.