1 November 2020
Penulis — qsanta
Setelah meluangkan waktu di tempat pemakaman umum setempat, Erna mulai memikirkan langkah yang akan diambil. Memang, saat butuh ketenangan, Erna lebih memilih menyepi di tempat pemakaman umum.
Sekitar jam sembilan malam, Erna datang tanpa dendam, dia terima keadaannya.
“Lho, katanya mau nginep di rumah temen, kok gak jadi?”
Erna diam menyadari pertanyaan mama. Setelah menebak arah pembicaraan, maka Erna pun buka mulut, “Iya, gak jadi mah, males ah.”
“Betul itu, apalagi ayah tidak setuju kamu bermalam di rumah teman.”
“Iya yah. Erna tidur dulu.”
***
Rina mendesah gelisah saat sedang digauli oleh suaminya. Bahkan hingga suaminya tidur, pikiran Rina masih melayang menyadari ketenangan anaknya.
***
Sekitar dua minggu Rina menderita akibat anaknya tidak berbicara dengan dia. Namun, Rina tak berani berbicara lebih dahulu.
“Cukup satu kata, kenapa?”
Rina paham akan maksud dan tujuan dari pertanyaan putrinya itu. “Kehidupan rumah tangga, meski terlihat bahagia tapi tetap membuat mama stress. Memang kadarnya tidak separah orang lain. Tetap saja, keinginan untuk membahagiakan suami dan melihat kamu sukses terkadang membuat urat syaraf mama menegang.
“Namun, saat mama mencium aromamu, aroma pakaianmu, mama merasa mendapat pelarian dari stress dan tuntutan kehidupan. Mama seperti mendapat wangsit, keseimbangan, nilai plus dan min.
“Mama merasa plus mama terpenuhi saat menjalankan peran sebagai seorang istri dan atau ibu. Lantas, mama merasa min mama terpenuhi saat mama melakukan apa yang, mungkin bagi orang lain, kotor.”
Hening.
Hening..
Hening…
“Kalau memang itu yang mama mau, biar Erna bantu mama mengekspresikan diri tanpa khawatir akan penilaian dari Erna. Itu juga kalau mama setuju.”
“Maksudmu apa?”
Tangan Erna lantas mengelus kepala mama. Rina diam saat kepalanya dielus putrinya. Saat elusan sedikit menggenggam, maka kepala Rina mengikut langkah tangan putrinya. Rina kini berlutut seiring dengan tekanan pada kepalanya. Tanpa Rina sangka, kepalanya masuk ke dalam rok pendek yang dipakai putrinya hingga wajahnya mengenai celana dalam putrinya.
“Minum semua mah, hisap dan jilat kalau perlu!”
Sebelum benar – benar mengerti perkataan putrinya, tiba – tiba wajah Rina basah oleh urin yang merembes dari celana dalam putrinya. Setelah paham, Rina membuka mulut dan berusaha membuat urin putrinya masuk ke mulut. Setelah tak ada lagi aliran urin yang keluar, Rina meneguk hingga habis. Karena masih basah, celana dalam putrinya dihisap oleh Rina.
“Enak. Terus jilat… Oh… Buka mah, buka cd Erna!”
Rina menurut. Dengan tangannya Rina menurunkan CD putrinya hingga lepas. Setelah itu, kepala Rina kembali dibimbing menuju ke selangkangan putrinya.
“Bersihin dong mah”
Jilatan Rina semakin semangat saat kepalanya dielus – elus.
“Enak mah… Terus jilat… ahhh… disana mah… ah…”
Rina menghentikan jilatan saat putrinya orgasme. Rina biarkan tubuh putrinya menikmati hasil dari jilatannya.
“Sudah mah ah, capek. Rina mau rebahan dulu.”
“Iya nak.”
Rina senang akhirnya putrinya mau berbicara dengannya.
Rina senang akhirnya putrinya mau memenuhi keinginannya.
Rina senang akhirnya apa yang dilakukannya kembali diulangi oleh putrinya.
Jika dan hanya jika putrinya mengelus kepalanya, maka Rina pasrahkan kepalanya dipandu oleh tangan kecil putrinya.