2 November 2020
Penulis — linbd001
Dukuh Terpencil di Lereng Bukit
Ini merupakan dunia baru bagi Aldi. Bagaimana tidak? Dia biasa tinggal di tengah hiruk pikuk perkotaan, saat ini harus tinggal di sebuah desa terpencil yang cukup jauh dari peradaban. Ini memang tugas. Tiga bulan lalu ia diterima sebagai PNS di instansi yang berhubungan dengan desa tertinggal.
Sebagai sarjana teknik sipil ia ditugaskan untuk mendesain sekaligus mengerjakan sebuah proyek irigasi. Desa Klecak, itu nama desa yang ia tempati saat ini. Desa tersebut berada di lereng perbukitan, sebenarnya merupakan desa yang cukup subur. Hanya saja kurang ditopang dengan kondisi air yang memadai karena belum ada saluran irigasi yang permanen.
Disinilah tugas utama Aldi untuk merancang dan membuat saluran irigasi permanen dari air terjun yang berada di ujung desa dan berbatasan dengan hutan lindung. Tentu dengan peran swadaya masyarakat setempat. Panjang saluran direncanakan sekitar 900 meter menyisir lereng bukit dengan jarak terdekat dari dukuh paling ujung adalah 500 meter.
Dengan wilayah berbukit, membuat desa itu terbagi dalam beberapa pedukuhan yang saling terpisah. Jalan antar pedukuhan di desa itu bebukit, naik turun terhubung dengan jalan setapak yang membelah ladang.
Sebagai pendatang sekaligus tamu bagi desa itu, awalnya ia diminta tinggal di rumah pak Kades, Sukarya yang terbilang cukup megah untuk ukuran orang desa. Meski jaraknya cukup jauh dengan lokasi yeng hendak dibangun, Ia mau menuruti saran tersebut. Apalagi, nyalinya sedikit kecut juga tinggal di daerah terpencil yang belum ada listrik.
Setelah dua pekan tinggal di tempat pak Kades ia membulatkan tekat untuk tinggal di Dukuh Binangun dengan alasan lebih fokus pada pekerjaan. Apalagi ia ingin cepat-cepat menyelesaikan proyek itu dengan harapan bisa kembali ke kota kecamatan yang lebih dekat dengan dunia luar.
Dukuh yang ia tempati saat ini berjumlah sekitar 30 kepala keluarga. Masyarakatnya sangat ramah dan masih menjujung tinggi adat istiadat. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai peternak dan petani di ladang.
Aldi sendiri, di dukuh itu di tempatkan di rumah pasangan suami istri Sanwirya-Rukiah. Mereka adalah sepasang suami istri yang sudah cukup tua. Usianya sekitar 53 dan 49 tahun. Mereka tinggal sendiri karena ketiga anak perempuannya sudah menikah dan ikut suaminya. Sedangkan si bungsu yang laki-laki sedang merantau ke kota.
Awal pekan ke tiga masih dilakoni dengan tugas survey dan merancang gambar bangun irigasi, guna menentukan titik-titik yang dirasa tepat dilalui saluran tersebut. Dengan tinggal di rumah pasangan Sanwirya-Rukiah membuat kerja lebih mudah dan jaraknya lebih dekat. Untuk menuju air terjun yang menjadi sumber air irigasi hanya butuh waktu 15 menit saja.
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, hari ini Aldi berangkat lebih siang menuju lokasi survei. Ia agak santai sebab sedikit lagi rancangannya hampir sempurna. Di tengah terik matahari, Aldi berjalan menyusuri jalan setapak. Di sisi kiri terhampar ladang yang ditumbuhi tanaman jagung dan di sebelah kanan ada tebing perbukitan.
Saat hendak sampai lokasi air terjun matanya melihat satu perempuan dengan anak gadisnya. Mereka tengah sibuk menyiangi rumput di lahan jagung. Perempuan itu adalah Ningsih, usianya sekitar 40 tahun dan anak gadisnya Tari usianya baru 11 tahun. Aldi tahu nama mereka karena mereka tinggal tak jauh dari rumah pasangan Sanwirya yang ia tempati saat ini.
Ningsih sebenarnya masih memiliki suami, namun sudah 10 tahun sejak merantau, suaminya tidak pulang ke rumah. Ada slentingan suaminya menikah lagi, namun itu semua hanya kabar burung. Itu membuat Ningsih harus membesarkan kedua anaknya sendirian, semua anaknya perempuan. Rusmi si sulung sudah menikah dua tahun lalu dan ikut suaminya di desa tetangga, sehingga ia hanya tinggal dengan si bungsu Tari.
Saat semakin dekat Aldis menyoba menyapa Ningsing. “Rajin sekali mbak. Sudah siang masih di ladang,”. Mendengar itu Ningsih menoleh “Eh.. Iya mas.. kalau ndak rajin kami makan apa.. kami hanya mengandalkan hasil ladang untuk makan. Tidak seperti mas Aldi yang tidak harus panasan di ladang sudah punya gaji tinggi,” ujar Ningsih.
Karena survei hampir selesai, Aldi menyempatkan berbincang-bincang dengan Ningsih. Saat berbincang-bincang inilah ia baru benar-benar memperhatian Ningsih. Meski usianya sudah berkepala empat namun badan perempuan tersebut sintal dan kencang, mungkin karena biasa bekerja di ladang. Tingginya sekitar 155 cm.
Saat tengah memperhatikan Ningsih ini Aldi dikejutkan suara Tari. “Bu sudah siang, Tari lelah,” ujar Tari. Mendengar hal ini Ningsih meminta anaknya pulang dulu. Mungkin karena ndak enak hati karena masih ngobrol dengan Aldi. “Sudah kamu pulang dulu, nanti ibu menyusul,” jelas Ningsih.
Setelah Tari pulang Ningsih meminta obrolan dilanjutkan di gubuk yang berada di tengah ladang. “Mas jangan ngobrol di sini. Di gubuk saja, sekalian saya mau ambil jagung muda yang dipetik tadi ,” ujar Ningsih. “Lho masih muda kok sudah dipetik,” ujar Aldi heran. “Ya memang harus dipetik. Satu tanaman hanya satu jagung saja.
Tanpa berakata lagi Aldi berjalan mengikuti Ningsih. Saat berjalan itulah matanya kembali memperhatikan tubuh Ningsih. Saat itu dimatanya makin jelas melihat bahwa tubuh perempuan di depannya benar-benar sintal. Pantatnya besar dan kencang, terlihat jelas dibalut kain jarit sebatas lutut. Melihat itu tak terasa Aldi menelan lidah dan jakunnya naik turun, nafsunya perlahan namun pasti mulai naik.
Saat menyusuri pematang itulah tiba-tiba Ningsih terpeleset dan berteriak kecil. Dengan sigap Aldi menangkap tubuh Ningsih dari belakang. Namun itu justru membuat mereka berdua limbung, terpelintir dan jatuh berguling ke ladang jagung di tepi pematang. Secara naluriah tangan kanan Aldi melindungi bagian kepala ningsih agar tidak terbentur tanah sedangkan tangan kiri memegang bagian pinggang.
“Tidak apa-apa mbak? ,” tanya Aldi sambil khawatir. Ningsih yang ditanya malah diam, terlihat wajahnya masih kaget dan takut. Namun itu tak berlangsung lama. “Ndak apa-apa hanya kaki dan punggungku sedikit sakit,” jelas Ningsih. Mendengar ini Aldi mencoba meraba punggung Ningsih, namun tiba-tiba Ningsih sadar bahwa tubuhnya terhimpit oleh Aldi.
Aldi lantas buru-buru mengangkat tubuhnya namun saat hendak duduk justru melelihat pemandangan indah di depan matanya. Kancing kebaya yang dipakai oleh Ningsih lepas dan putus. Begitu pula dengan kait BH bagian depan sobek dan nyaris putus. Di balik BH lusuh tersebut menyembul payudara besar milik Ningsih.
Dipandangi seperti itu Ningsih sadar bagian depan tubuhnya yang sensitif terbuka. Ia terkejut dan lantas menutup payudaranya dengan kedua tangannya. Wajahnya memerah malu. Melihat hal ini Aldi mencoba memalingkan wajahnya meski dihati tidak ingin melepaskan pemandangan indah di depan matanya. Melihat Aldi berpaling Ningsih lantas segera membenahi kebayanya namun karena kancing bajunya sudah putus tidak bisa menutupi secara sempurna.
Dari duduk bersimpuh ia mencoba berdiri. Saat hendak berdiri itulah tiba-tiba pergelangan kakinya terasa sakit, karena terkilir. Namun ia paksakan berdiri, itu justru membuat dirinya goyah dan jatuh kembali. Sial sebelum jatuh, kakinya menginjak kain jarik yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Karena ikatannya sudah longgar membuat kain tersebut terlepas.
Kondisi ini membuat wajah Ningsih kian memerah menahan malu. Rasanya ingin menangis. Kedua pahanya secepatnya ditutup dan kakinya ditekuk untuk menutupi area sensitifnya. Sedangkan kedua tangannya masih memegang erat kebayanya.
Disuguhi pemandagan indah seperti ini membuat nafsu Aldi kian memuncak. Namun demikian masih ada rasa iba dihatinya. Dengan perlahan dihampiri Ningsih, diambilnya kain jarit yang terlepas kemudian dipakaikan untuk menutup tubuh bagian bawah Ningsih. Sambil berkata lirih “Maaf mbak,”. Kemudian Aldi membopong Ningsih.
Nafsu yang sudah memuncak, membuat Aldi tidak membopong ningsih ke Gubuk. Justru ia berjalan ke tengah-tengah ladang jagung. “Mau kemana mas, gubuknya disana.. ini mau kemana,” ujar Ningsih. Mendapat pertanyaan seperti itu Aldi hanya diam dan terus berjalan masuk diantara rerimbuan pohon jagung. Saat benar-benar ditengah ladang di dudukan Ningsih di atas tanah.
“Mas.. mau apa ini.. jangan macam-macam,” kata Ningsih lirih mulai curiga. Wajahnya kelihatan mulai pucat. “Tenang saja mbak aku bantu supaya sembuh,” jelas Aldi.
Setelah membaringkan ningsih secepat kilat ia memeluk tubuh perempuan itu dan melumat bibirnya. Ini membuat ningsih gelagapan. Dengan reflek ningsih hendak mendorng tubuh Aldi namun tenaganya kurang kuat. Justru himpitan tubuh aldi kian kuat.
Tidak hanya melumat bibir Ningsih, tangan Aldi pun mulai bergerilya di dua bukit kembar ningsih. “benar-benar masih kenyal dan kencang,” batin Aldi. Ini membuat ia kian buas meremas payudara Ningsih.
Remasan Aldi membuat ningsih menggelinjang. “Ouwh.. Ouwh..” desahan keluar dari bibir ningsih pelan. Namun tangannya masih menahan tubuh Aldi.
Dari bibir ciuman diarahkan ke leher. Bau keringah khas wanita benar-benar terasa, ini membuat Aldi kian bernafsu. Diciumi dan dijilati leher ningsih dengan liar. Ciuman aldi membiat ningsih blingsatan. Nafsu mulai menjalari tubuh ningsih. Kedua tangganya yang tadi menolak tubuh aldi kian melemas. “Jangan mas..
Mendengar desahan ningsih membuat Aldi kian bersemangat. Kali ini ia menelusuri payudara ningsih. Dibenamkan wajahnya dalam dua bukit kembar ningsih yang membusung dan menantang. Dari antara dua bukit itu lidahnya bermain, menyapu pelan hingga ke puting susunya. Dikulumnya dengan halus dan kadang digigit pelan.
Dari payudara Aldi kembali melumat bibir Ningsih. Lidahnya bermain dilangit-langit mulut ningsih. Ini membuat desahan ningsih kian kuat. Sembari melumat bibir perempuan setengah baya ini, dengan pelan Aldi melepaskan bajunya sendiri. Setelah bajunya lepas dihimpit kembali tubuh ningsih. Kali ini tidaklah keras namun halus dan penuh perasaan.
Setelah puas melumat bibiur ningsih dan mempermaikan payudara perempuan itu. Denga pelan dilepaskannya kain jarit yang menutupi bagian bawah perempuan itu. Secara reflek Ningsih menghimpitan kedua pahanya secara erat. “Jangan mas.. jangan berlebihan,” jelas Ningsing.
“Tenang aja mbak..” kata aldi. Dengan kedua tangganya ia membuka paha Ningsih. Agak susah karna ada sediikit perlawaan. Diciuminya paha ningsih dengan halus. Dengan tangan kananya diremas pelan payudara ningsih. Ini membuat Ningsih kembali melayang. Dua paha yang tadinya menghimpit keras, pelan-pelan melunak dan mulai terbuka.
Ningsih yang sudah lama tidak disentuh dan belum pernah merasakan pengalaman seperti ini langsung melayang. Nafasnya kian memburu. Bahkan sesekali pantatnya diangkat saat sapuan dan sedotan halus dilancarkan di klitoris Ningsih.
Puas mempermainkan bagian bawah Ningsih, aldi melepas celananya. Terpampang batang kemaluan Aldi yang cukup besar dan panjang. Melihat hal ini mata ningsih terbelalak. “Mas.. sudah mas.. jangan dilanjutkan.. ini dilarang,” ujar ningsih dengan muka sendu dan memerah.
Aldi hanya tersenyum, dengan pelan senjatanya ini dimasukan ke liang senggama milik ningsih. Dimasukan ujungnya ditarik lagi. Meski sudah becek namun agak sempit. Barangkali karena ningsih sudah lama tidak disentuh. Itu dilakukan berulang-ulang. Saat setengah batang kemaluannya sudah masuk setengah ke liang senggama ningsih, dengan keras aldi menekannya dan..
Didalam liang kemaluan ningsih aldi merasakan batang kemaluannya serasa dipijit pijit oleh kontraksi otot vagina ningsih. Hangat, lembut dan nikmat. Begitupula dengan ningsih, merasakan kenikmatan yang tiada tara. Setelah sepuluh tahun lebih tidak disentuh oleh suaminya ia benar-benar merasakan dahaganya mulai tersalurkan.
Pelan Aldi mulai menggoyang pantatnya. Gesekan antara dua kemaluan yang berbeda jenis ini membuat sensasi kenikmatan yang luar biasa. Semua syaraf terasa seperti teraliri listrik. Nafsu pun kian memuncak desahan dari mulut ningsih kian keras… “Ah.. ah… mas.. terus.. ahh,” desah ningsih tak ada hentinya.
Aldi terus mempercepat goyangannya, pelan namun pasti ningsih juga menggoyangkan pantatnya membuat kemaluan aldi sperti disedot dan diremas-remas. Ditekuknya paha ningsih dan dihunjamkan kian keras batang kemaluan Aldi ke liang vagina Ningsih. Seperti kesetanan Aldi terus mempercepat memompa ningsih.
Begitupula dengan ningsih kian menggeliat dan mendesah keras… “auh.. ohhh… yaah.. masss… teruss.. ,” Ia sudah tidak memperdulikan sekitarnya. Kenimatan terus menjalari dua insan itu.. detak jantungnya berpacu kian keras, pada satu titik, waktu serasa berhenti dan “crooot” “ahhhh… ” erangan panjang menandakan keduanya mencapai orgasme.
Aldi kemudian mengecup kening Ningsih..“makasih mbakk..” air mata menetes dari ujung mata ningsih. Ia kemudian memeluk erat aldi sambil berbisik “makasih juga mas…” jelasnya.
Setelah menyelesaikan hajatnya.. aldi membopong ningsih ke gubuk di tegah sawah. Ia kemudian menuju air terjun yang tak jauh dari ladang itu, bersih-bersih kemudian mengambil air dengan ember dan membersihkan tubuh ningsih dari kotoran tanah. Setelah beristrahat sejenak ia memapah ningsih pulang.