2 November 2020
Penulis — memekibustw
Keesokannya saat sedang belajar di kelas, aku menjadi tak konsentrasi. Pikiranku berkecamuk dan bertanya-tanya apa yang akan dikatakan oleh ibu angkatku itu nanti. Beberapa item pelajaran bahkan tidak sama sekali masuk dalam otakku, padahal sebulan lagi kami akan menghadapi ujian akhir yang akan sangat menentukan koordinat arah pendidikan tinggi yang diinginkan.
Akhirnya jam satu siang tiba juga, aku yang biasanya menunggu Rani untuk pulang bersama (karena kami pakai satu mobil antar jemput yang sama) kini harus berbohong dengan mengatakan bahwa aku harus ke tempat temanku yang lagi sakit keras dan absen beberapa hari. Rani memang tak satu kelas denganku, jadi ia tidak mungkin tahu hal itu, dan ia selalu percaya padaku.
Taksi membawaku menyusuri jaran lebar dan padat di Kawasan Thamrin, memasuki sebuah gedung pencakar langit, mungkin yang tertinggi di Jakarta. Aku sampai juga di kantor ibu yang ada di lantai 28 gedung itu. Seorang petugas keamanan rupanya sudah dipesan untuk mengantarku dari loby ke ruangannya yang luas.
Pintu ditutup perlahan dan dengan penuh hormat, satpam perusahaan tadi pamit melangkah keluar ruangan ibu. Tinggal aku dan dia di dalam ruangannya.
“Duduk dulu Bud, ibu ke toilet sebentar,” katanya menyambutku dengan nada datar sambil berlalu membuka pintu kamar mandi yang ada disana. Tinggal aku yang masih termenung menebak-nebak apa yang akan dibicarakan ibu denganku. Namun hanya 5 menit kemudian ibu sudah keluar dari kamar mandinya, dengan senyuman yang penuh misteri ia langsung duduk disampingku, memeluk, hal yang sangat biasa ia lakukan terhadap satu-satunya anak angkat pria yang ia miliki ini.
“sebenarnya ini bukan kehendak ibu untuk membicarakannya, tapi sebagai orang tua, ibu merasa tertuntut untuk mengajak kamu musyawarah,” itu kata pembuka dari ibu setelah mendaratkan ciuman hangat di pipi kananku.
“dan karena kedekatan kalian, ibu merasa tak ada orang lain yang lebih berhak untuk diajak bicara tentang Rani selain kamu, sebab kamulah orang yang paling dia sayangi saat ini,” lanjut ibu. Tangan kanannya masih merangkul pundakku. Sebuah cara yang selama ini yang menunjukkan bahwa aku adalah anak lelaki kesayangannya.
“jadi ini tentang Rani, Bu? Tapi kenapa ibu bilang ini rahasia kita berdua? Saya bingung,” jawabku sambil menundukkan kepala kearah dada ibu.
“ini memang pendapat ibu sendiri yang ibu pikir tak boleh diketahui oleh Rani, dan ibu melakukannya karena ibu tahu kalau Rani sendiri takkan sanggup mengatakannya kepada kamu,”
“tentang apa sih bu?” aku tambah tak mengerti. Giliran aku memeluk pinggul ibu. Kami jadi berdekapan.
“ini tentang pendidikan Rani, sejak SMP dulu, dia ingin sekali melanjutkan pendidikannya di luar negeri…”
“Haaah !!!” aku terhenyak kaget. Tapi ibu yang mempererat pelukannya, kini malah membelai lembut kepalaku yang bersandar di dadanya.
“Reaksi kamu itulah yang ditakutkan oleh Rani, dia sangat sayang sama kamu tapi kamu kan tahu juga kalau dia itu orangnya sangat haus ilmu, kalian punya kemiripan. Sama-sama haus ilmu, sama-sama anak pintar dan itu membahagiakan ibu,”
“jadi Rani takut mengatakan ini kepada saya langsung, bu? Kenapa?”
“Rani takut mengecewakan kamu dan ibu,”
“apa hubungannya bu? Bukankah saya akan selalu menemaninya kemanapun?” aku memotong sebelum ibu melanjutkan.
“Ia ibu tahu itu, tapi Rani juga memikirkan ibu yang akan ditinggal sendiri disini, dia sangat memikirkan keadaan ibu disini sehingga merasa kasihan kalau harus meninggalkan ibu sendiri disini,”
“ah… saya baru mengerti bu, jadi Rani takut ibu kesepian tidak ada yang menemani disini kalau saya juga ikut ke luar negeri, tapi… hmmmm, gimana ya? Sulit juga masalahnya, saya juga tidak tega kalau harus membiarkan ibu sendiri disini, saya merasa wajib menjaga ibu…”
“terimakasih sayang, itulah masalahnya, ibu pasti kesepian jika ditinggal sendiri, tapi ibu juga tidak boleh menghalangi niat anak-anak ibu untuk mendapatkan pendidikan yang kalian inginkan. Jadi ibu bingung… ibu sangat menyayangi kalian, ibu pikir tak akan sanggup jauh dari kalian,” kembali ibu mencium pipiku.
“jadi bagaimana solusinya Bu? Saya rasa Rani juga berpikiran sama dengan ibu, dia pasti tidak mau meninggalkan ibu sendiri disini,”
“tapi Rani juga sangat sayang pada kamu… dan dia pasti sedih kalau… mmmmm,”
“kalau apa bu? Kalau kami berpisah?” aku tahu arahnya meski ibu canggung sekali mengatakannya.
“itu juga masalah, Bud. Kalian sudah sangat dekat, Rani sepertinya takut kalau kalian jauh, kamu akan…” ibu tak melanjutkan. Canggung lagi rupanya, karena jelas itu adalah tuduhan untukku.
Aku juga termenung sesaat memikirkan hal itu. Bagaimana tidak, aku dan Rani sudah layaknya suami istri, bagaimana hari-hariku tanpa Rani? Apa iya aku bisa tahan rasa kangenku pada “istriku” itu? Apa iya aku sanggup hanya membaca emailnya saja? Dan apa iya aku sanggup menahan rasa ingin melakukan “ritual rutin” kami?
“yang paling ibu takutkan adalah kalau hal ini sampai merusak hubungan pribadi kalian, bud. Ibu tidak mau itu terjadi, ibu sangat berharap hubungan kalian ini bisa dipertahankan… ,” berhenti lagi. Ibu yang sekarang menaikkan kepalaku dari dadanya, dengan telapak tangannya yang lembut ia mendongakkan wajahku kearahnya seolah meyakinkan aku untuk secara tegas menjawab pertanyaannya.
“Ayo, sayang, putuskan sekarang. Apakah kamu mau meninggalkan ibu untuk menemani istrimu? Atau kamu nggak tega meninggalkan ibu dan memilih menemani ibu dan melanjutkan kuliah disini?”
“siapa yang akan menjaga Rani disana Bu?”
“kan ada Rina, daftarnya juga di Universitas yang sama…”
“Ooo, begitu…” Aku terdiam lagi. Membayangkan “istriku” yang kurang dua minggu lagi akan meninggalkanku.
“saya yang takut kehilangan Rani, Bu. Saya memang tidak bisa melupakan Rani, tapi apa iya Rani juga begitu?”
“sebenarnya pertanyaan itu juga yang ada dalam benak Rani, kalian memang saling menyayangi, Rani juga takut kehilangan kamu, dia takut kamu berpaling dari dia,”
“ah… nggak ada alasan…” kataku keluar setengah bergumam sambil mencium pipi kanannya.
“ih anak ibu, kamu tuh nggak PD banget sih? Liat tuh di cermin, hmm… cakep kan? Perempuan mana sih yang nggak mau sama kamu?” ibu mencubit kedua pipiku dan mengarahkan wajahku kearah cermin lebar di salahsatu dinding ruangan.
“iih ibu, bikin GR aja…” aku berpaling kearahnya dan mencubit, bukan di lengannya seperti kebiasaanku kalau bercanda. Tapi di pantatnya, cukup keras karena aku gemas juga.
“auuuu… sakit sayang!!” ibu menjerit, menatapku lucu sambil memonyongkan bibirnya.
“hehehe… ibu cantik deh kalau monyong begitu,” candaku.
Tangan kiri ibu meraih remote control audio dari atas meja kerjanya, tangan kanannya menarikku untuk berdiri, aku manut saja. Ibu menyalakan audio ruangan itu, jadilah kami berdansa pelan diiringi beberapa symphony bethoven & mozart yang romantis.
Aku memeluk pinggulnya dan ibu mendekap erat dadaku keatas sehingga otomatis dada besarnya tersaji sedikit dibawah daguku. Bu Siska memang lebih tinggi 3-4cm dari aku. Entah karena romantisnya dansa kami atau gerakan ibu yang kadang menggoyang dadanya itu, penisku yang sedari tadi tidur itu mulai beranjak bangun dan mengeras hingga menimbulkan cembungan yang rupanya dirasakan juga oleh Bu Siska.
Aku bingung harus bagaimana, apalagi aku adalah tipe pria yang cepat sekali terangsang. Biasanya kejadian semacam ini hanya berlangsung sesaat saja dan ibu langsung mengelak kalau menyadari aku mulai terangsang. Tapi inikali berbeda, ibu malah semakin membiarkan dadanya menggencet ketat di badanku bagian atas.
Ditengah batinku bertanya-tanya tentang keanehan itu, tiba-tiba ibu membuka matanya. Lalu entah apa yang menggerakkan wajah itu mendekat ke arah bibirku. Aku masih penasaran dan bingung, kukecup pipi kirinya, namun wajahnya seakan mengarahkan gerak yang lebih sensual dari biasanya, telapak tangannya kini mendekap kedua pipiku.
Aku terdiam, memejam, hanya sesaat setelah itu kurasakan sebuah kelembutan menyentuh bibirku, aku pasrah saja tak berani menolak, tak hanya sampai disana. Sekujur badanku merinding merasakan gejolak aura lidahnya yang berusaha memasuki rongga mulutku, bibirnya menjepit bibirku. Aku biarkan saja ketika bibir itu kini berhasil menjepit dan menyedot lidahku.
Pikiranku masih berkecamuk antara percaya atau tidak terhadap apa yang kami lakukan saat ini. Bu Siska sudah mulai mendesah, terdengar nafasnya mulai memburu. Dekapan tangannya di kepalaku sudah terlepas, entah kapan dan aku tak menyadari ketika membuka mataku, belahan jas kerja Bu Siska ternyata sudah terbuka, sebelah tangannya menuntun tanganku kearah gundukan payudara berlapis BH putih berenda yang ukurannya my God, diatas rata-rata!
“Bu… mmm,” aku mencoba bicara namun secepat itu pula ia kembali menyumbat mulutku dengan sebuah ciuman. Lebih ganas dari sebelumnya, Bu Siska sudah tidak lagi menahan desahannya. Kali ini ikat pinggangku ia lepaskan, lalu zipper celana sekolah itu dan tasss… celana abu SMA itu melorot sampai setengah paha.
“Ibu… please…” aku kembali bicara. Tapi tanganku malah memberi remasan lembut pada buah dadanya.
“terussskan sayang aaauuuffffhhh…” hanya itu yang terdengar dari desahannya yang semakin keras saja.
Aku jadi tak berani lagi bicara, kubiarkan ibu bertambah liar dengan melukar pakaianku. Dan kalaupun aku mampu menolak, hal itu tidak akan aku lakukan. Karena beberapa saat kemudian otakku mulai dikuasai oleh egoisme birahi yang seakan bersorak;
“Ayo, Bud, setubuhi perempuan cantik didepanmu!!! Bukankah selera seksualmu lebih besar pada wanita paruhbaya seperti ini???” Dan kapan lagi kamu akan membalas jasa Bu Siska yang telah memberimu kehidupan mewah seperti ini???
Petanyaan-pertanyaan tadi seperti menuntun tanganku untuk lebih jauh menuruti nafsu Bu Siska yang sudah pasti tidak dapat lagi dibendung. Seperti mencari pembenaran atas kejadian itu, batinku yang lain menjawab;
“sudah lah, Bud. Nikmati saja. Bukankah kamu juga tak kalah sayang pada Bu Siska? Kamu juga mencintainya kan? Lupakan sejenak istrimu itu, dua lebih baik daripada satu dan yang ini adalah kunci masa depanmu!!!” Aku tak mampu lagi berpikir logis, segala bayangan tentang Rani hilang entah kemana, yang ada kini adalah kemolekan tubuh calon mertuaku, ibu angkatku yang mungkin juga akan segera jadi kekasih gelapku!!!
Pakaianku terlepas sudah seluruhnya, tak tahu kapan Bu Siska mempretelinya dari tubuhku. Aku telanjang dan terduduk di sofa panjang ruang kerja yang luas itu. Kupejamkan mata, tak berani melihat Bu Siska yang baru saja beranjak dari mengunci pintu ruang kerjanya. Kulirik sedikit, bak penari striptease, dari arah pintu ia berjalan sambil melepaskan satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya.
Uhhfff… kini aku yang terbelalak, sebelum melepaskan roknya, Bu Siska sudah melepas celana dalam putih, dan sesampainya didepanku dengan sekali langkah tubuh montok dan sedikit gemuk itu terpampang jelas di depanku. Berjongkok tepat dihadapan tempat aku duduk, lalu kembali memeluk. Aku yang menyambut dengan ciuman penuh kerinduan.
“aaauuuuhhh… sssssshhhhh aaaahhhh… hmmmmm… oooohhhh.. terussss saaayaang.. ohhhh,” hanya desahan itu yang bisa diucapkannya. Tangan kiri Bu Siska meraih batang kemaluanku dan meremas lembut.
“ooooohhhh… Bu… ssshhhh… aaaauuhhhh,” desahanku juga mulai keras. Kami semakin liar.