31 Oktober 2020
Penulis —  suzuki69

Bu Likha

BEBERAPA hari ini ada yang dirasa mengganggu. Setiap kali membuka jendela kamar kos, bukan udara segar yang kudapat tetapi sederetan baju basah yang habis dicuci dan dijemur. Jarak antara jendela dengan jemuran juga sangat dekat hingga aku bisa mencium bau detergent yang dipakai mencuci baju-baju yang dijemur karena baunya masuk ke dalam kamar.

Kalau cuma baju aku nggak begitu peduli dan bisa memaklumi. Kamar kost tempat aku tinggal memang berada di kampung yang padat penduduk hingga sulit mendapatkan tanah longgar kendati hanya untuk tiang jemuran. Tetapi dua hari lalu, cucian basah yang berada peris di depan jendela kamarku berupa celana dalam perempuan dan BH.

Kalau celana dalam yang dipajang G string atau janis lain yang biasa dipakai murid-murid perempuan di sekolahku, mungkin aku nggak keberatan. Setidaknya bisa untuk membayangkan hal-hal yang menggairahkan saat mau beronani karena kadang aku suka melakukannya kalau lagi horny. Tetapi ini, sudah warnanya pudar dan berukuran besar, juga kendor karena kelewat sering dipakai.

Celana dalam dan BH itu pasti milik Bu Likha, istri Pak Rokhim. Beberapa hari lalu memang kulihat Bu Likha menyuruh Kang Sarno tetangga sebelah yang lain membuat tiang jemuran. Rupanya gara-gara tanah kosong di belakang rumahnya hendak dibangun oleh pemiliknya, ia harus memindahkan lokasi jemurannya.

Pak Rokhim, pria berusia 54 tahun bekerja sebagai tukang kayu dengan beberapa anak buah. Namun sejak enam bulan terakhir, karena mengalami kecelakaan saat bekerja, tulang punggungnya mengalami cedera sangat serius hingga mengalami kelumpuhan dan matanya berangsur menjadi rabun dan mengalami kebutaan.

Pak Rokhim dan Bu Likha hanya memiliki satu anak, Mbak Lasmi. Tapi setelah menikah ikut suaminya ke Jakarta. Tidak adanya anak yang harus dibiayai membuat Bu Likha tidak terlalu berat membiayai hidup meski hanya mengandalkan upah menjahit yang diterimanya.

Sejak aku masih kelas I SMA dan menempati tempat kost itu, aku cukup akrab dengan Pak Rokhim. Kalau malam biasanya suka main catur berdua di rumahnya sambil menikmati teh dan kue yang disediakan Istrinya. Malah Pak Rokhim sering memberiku rokok kalau lagi banyak borongan. Namun sejak ia lumpuh setelah kecelakaan, ia sudah tidak mampu lagi main catur karena hanya bisa berbaring.

Tetapi aku masih sering datang untuk sekadar ngobrol dan memberinya semangat. Atau sekadar berbagai satu dua batang rokok, kalau baru dapat kiriman uang dari kampung. Sejak mengalami lumpuh, Pak Rokhim tidak lagi tidur di kamarnya tetapi ditempatkan di dipan di ruang tamu hingga aku bisa leluasa main.

“Bu Likha mana Pak, kok sepi?” kataku setelah duduk di kursi di dekat tempat Pak Rokhim berbaring.

“Lagi nganter jahitan. Eh itu ada jagung rebus kalau mau. Teh manisnya nanti nyusul kalau istriku datang,” ujarnya.

“Iya Pak, terima kasih. Saya baru saja makan,”

Tidak terlalu lama Bu Likha datang. Melihat aku asyik berbincang dengan suaminya, ia langsung masuk ke dalam membuatkan minum dan menyuguhkannya padaku. Tetapi saat hendak menaruh cangkir di meja, tangan wanita itu tersundut bara api rokok yang dipegang suaminya. Ia kaget dan memekik hingga cangkir yang dipegangnya terjatuh.

Bu Likha menggerutu dan menyalahkan suaminya yang mengacung-acungkan rokoknya hingga membuatnya tersundut. Terbungkuk-bungkuk wanita itu berusaha membersihkan lantai dari tumpahan teh manis dan kepingan cangkir yang pecah. Aku membantunya mengumpulkan jagung-jagung rebus yang ikut terjatuh.

Saat itu, tanpa sengaja kulihat tetek Bu Likha. Aku melihatnya karena ia dalam posisi membungkuk, padahal daster yang dipakainya tidak terkancing sempurna. Jarakku sangat dekat dengan dia karena aku ada di depannya. Teteknya tergolong besar meski agak kendur. Ia juga tidak memakai kutang. Pentil-pentilnya tampak menonjol coklat kehitaman.

Tak kusangka tetek wanita seusia Bu Likha masih merangsang. Bentuknya mirip buah pepaya yang menggelantung. Tanpa sungkan aku terus menatapi buah dada wanita itu. Aku leluasa melakukannya karena Pak Rokhim kendati berada di dekatku, matanya sudah tidak bisa melihat. Dan posisi Bu Solikha membungkuk mengepel lantai hingga tidak mungkin mengetahui kekurangajaranku.

Kontolku langsung menggeliat dan menegang. Berkali-kali aku menelan ludah karena kerongkongan yang seperti tercekat menahan gairah. Apalagi saat tetek besar wanita itu berguncang-guncang lembut karena gerakan tubuh pemiliknya yang tengah mengepel lantai. Aku sering melihat gambar wanita telanjang yang diambil dari internet maupun adegan di film BF.

Saat anganku tengah melayang jauh sambil terus menatapi tetek besar itu, Bu Likha berhenti dari pekerjaanya membersihkan lantai. Membuatku terperanjat karena ia sempat memergokiku yang tengah menatapi buah dadanya. Mataku memang tengah benar-benar tertuju ke bagian dasternya yang tidak terkancing dan menatapi lekat-lekat buah dadanya.

Tetapi tidak. Istri Pak Rokhim memang sempat memeriksa kancing dasternya yang terbuka. Tetapi bukannya marah, ia malah melontarkan senyum padaku. Senyum yang tak kumengerti maknanya. Ia juga tidak berusaha mengancingkan dasternya. Bahkan sebelum meninggalkan ruang tamu, kembli ia melempar senyum. Senyum yang semakin tak kuketahui maksudnya.

Sepeninggal Bu Likha, seperti biasa Pak Rokhim menanyai berbagai hal tentang sekolahku. Soal kapan ujian, melanjutkan ke perguruan tinggi mana dan beberapa pertanyaan lain khas pertanyaan orang tua. Aku menjawab sekenanya untuk menyenangkan hati pria malang itu. Sebab bayang-bayang tetek besar Bu Likha, istrinya seakan melekat dan terpatri dalam benakku.

Dua tahun lebih bergaul dengan Pak Rokhim, aku tak pernah memiliki perhatian khusus terhadap Bu Likha. Ia bahkan kuanggap sebagai ibu karena kebaikannya sering menyediakan teh manis dan berbagai panganan saat aku masih sering main catur dengan suaminya. Aku juga sering membawakan oleh-oleh hasil panen dari kampung seperti kacang tanah, jagung dan bahkan beras.

Tetapi kini setelah berkesempatan melihat tetek besarnya, ketertarikanku padanya lebih bersifat seksual.

Bu Likha kembali ke ruang depan membawakan teh manis untuk menggantikan yang tadi terbuang. Ia memilih berjalan memutar saat hendak menaruhnya di meja. Mungkin untuk menghindari agar tidak kembali tersundut bara api rokok suaminya. Dan ternyata, kancing dasternya masih tetap terbuka. Hingga saat ia menunduk, dapat kulihat kembali tetek besarnya.

Bahkan seperti sengaja berlama-lama, setelah menaruh cangkir dan menungkan teh, jagung-jagung rebus yang sudah ada di atas piring diambil dan ditatanya ulang. Ia seperti memberiku kesempatan untuk bisa melihat lebih lama buah pepaya miliknya di balik dasternya yang terbuka. Kalau tidak ada Pak Rokhim mungkin aku sudah nekad.

Namun yang membuatku semakin panas dingin adalah setelah Bu Likha duduk menghadapi mesin jahitnya. Sebab yang disuguhkannya kali ini jauh lebih mengundang. Dasternya tersingkap ke atas dan kedua kakinya membuka lebar. Aku bisa melihat jelas kedua kakinya sampai ke pangkal paha bahkan juga celana dalam dan selangkangannya.

Posisi mesin jahit tempat Bu Likha bekerja, memang menghadap ke arah dipan tempat tidur Pak Rokhim yang juga menjadi tempat aku duduk di dipinggirannya. Jaraknya hanya sekitar 2 meter. Sulit untuk menghindari pemandangan menggairahkan yang kuyakin sengaja dipertontonkan oleh wanita itu.

Di selangkangannya, tepat diantara dua pangkal pahanya, ada bagian yang tampak cembung membusung. Tertutup celana dalam. Ya celana dalam yang pernah kulihat karena pernah dijemur dekat jendela kamarku. Warnanya sudah kusam dan pudar hingga sulit dikenali warna aslinya sewaktu masih baru. Tetapi kali ini menjadi sangat menarik di mataku.

Sesuai bentuk tubuhnya yang montok, paha Bu Likha terlihat membulat besar. Namun masih lumayan mulus dan nampak masih cukup liat. Ada memang sedikit lipatan-lipatan mendekati bagian pangkal paha. Maklum usianya sudah separuh abad dan sudah memiliki cucu. Kuyakin ia tahu ke mana mataku selalu menatap.

Sore itu, hujan yang semula hanya gerimis kecil mulai menderas. Sesekali terdengar bunyi guruh menggemuruh membahana. Pak Rokhim setelah menghabiskan dua batang rokok kulihat tertidur. Aku tahu dari dengkurnya yang mulai kudengar. Kini aku menjadi lebih bebas dengan tidurnya Pak Rokhim. Bebas menatapi paha istrinya yang terbuka dan busungan memeknya yang tercetak pada celana dalam yang dipakainya.

Aku jadi ingat adegan di film BF yang dipinjam dari Rofiq, temanku. Seorang wanita bule sepantaran Bu Likha, malah mungkin lebih tua, melakukan adegan seks dengan anak laki-laki yang lebih pantas menjadi cucunya. Adegannya dimulai dari anak laki-laki itu kepergok tengah mengintip saat sang wanita tetangganya mandi.

Aksi seks keduanya benar-benar hot. Setelah saling meraba, bocah bule yang masih ingusan menjilati memek nenek bule yang bentuknya sudah amburadul. Tetapi sang bocah terlihat sangat menikmati. Bahkan kelentit wanita itu dicerucupi dengan lahap hingga perempuan itu menjadi kelojotan sampai akhirnya sang bocah menindih dan memasukkan kontolnya yang lumayan gede ke memek pasangannya.

Saat melihat adegan itu dalam film BF, aku tidak begitu terangsang. Namun kini, baru melihat celana dalam Bu Likha dan membayangkan yang ada di balik celana dalam itu kontolku benar-benar makin mengeras. Untung aku memakai celana trainning berbahan kaos, hingga meskipun celana yang kupakai cukup ketat kontolku tetap leluasa mengembang.

“Man (namaku Arman), tolong pintunya ditutup saja. Anginnya kencang dan hujannya besar jadi airnya masuk,” kata Bu Likha.

Aku bergegas menutup pintu seperti yang diperintahkannya. Tetapi saat aku kembali, posisi Bu Likha sudah berdiri. Ia melangkah masuk ke ruang dalam rumahnya dan melambai mengajakku mengikutinya. Kendati bingung tidak tahu apa yang dimauinya aku mengikutinya. Tetapi saat ia masuk ke kamar tidurnya, aku tak berani meneruskan langkah.

Hanya beberapa saat kemudian, kudengar Bu Likha kembali memanggil. “Jangan berdiri disitu. Sini masuk,” ujar Bu Likha yang hanya menjulurkan kepala dan sebagian tubuhnya dari balik pintu kamar tidurnya.

Meski ragu, akhirnya aku melangkah menuju ke kamarnya. Dan yang membuatku kaget, saat tanganku baru menyingkap tirai pada pintu kamarnya, Bu Likha menarikku dan langsung menutup pintu serta menguncinya. Bahkan Bu Likha telah menanggalkan daster dan celana dalamnya. Bugil tanpa selembar benang menutupi tubuhnya hingga membuatku terpana.

Mataku melotot menatapi tubuh Bu Likha yang telanjang. Rambut sebahunya yang bila keluar rumah selalu tertutup kerudung dan jilbab lebar dibiarkannya tergerai. Kulihat sudah mulai ada beberapa helai uban. Pertanda usianya sudah tidak muda lagi. Juga kerutan di dahi dan seputar kelopak matanya sudah mulai terlihat.

Perutnya sudah agak membesar dan terlihat guratan-guratan tanda pernah melahirkan dan mungkin faktor usia. Juga nampak lipatan-lipatan kecil di dekat lobang pusarnya dan bagian bawah perutnya. Namun yang membuatku tak berkedip adalah bagian membusung di selangkangannya. Tadinya kukira memek Bu Likha tertutup oleh jembut panjang yang semrawut.

Ternyata tidak, memek Bu Likha dicukur bersih rambutnya. Terlihat gembung dan menggunduk diantara kedua kedua pahanya yang masih lumayan mulus. Aku jadi gelisah karena kontolku makin ngaceng, tegak terpacak. Bu Likha yang melihat perubahan tonjolan pada celanaku tersenyum penuh arti. “Dari tadi kamu pengin lihat punya ibu yang ini kan?

Aku tidak segera menyambut ajakannya karena masih bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya pengalaman seksku hanya mencium Amnah, teman sekolah di kampungku sewaktu kelas tiga SMP. Disamping melihat adegan bersetubuh dari melihat di film-film BF yang pernah kutonton. Sedangkan melihat langsung orang sedang berhubungan seks, secara tidak sengaja aku pernah mengintip pesetubuhan Bu Rasiti tetanggaku di kampung dengan Kang Sarman.

Namun saat Bu Likha telah duduk di tepian ranjang dan membuka lebar kakinya, terlalu sulit bagiku untuk melepaskan kesempatan melihat dari dekat bentuk memek wanita itu. Aku berjongkok tepat di depan Bu Likha yang duduk mengangkang di tepi ranjang. Kemaluan istri Pak Rokhim ternyata sungguh besar, gembung dan tebal.

Lubangnya juga sudah terbuka cukup lebar. Sepertinya lebih dari dua sentimeter garis tengahnya. Namun di bagian dalam yang agak basah, warnanya terlihat agak kemerahan. Entah sudah berapa lama memek Bu Likha terakhir disogok kontol lelaki. Sebab sejak mengalami kecelakaan dipastikan Pak Rokhim tidak mampu lagi menunaikan tugasnya di ranjang.

Karena bulu-bulu jembut yang mulai tumbuh sehabis dicukur, bagian menggunduk memenya terasa agak kasar saat aku meraba dan mengusapnya. Sesekali kuremas gemas memek tembemnya hingga wanita itu mendesah. Saat jari jemariku mulai mengusap bibir kemaluannya dan mencoba menjelajah ke liangnya, Bu Likha menggelinjang dan memekik tertahan.

Bu Likha terpaku saat kulepas bajuku dan melihat kontolku tegak terpacak. Mungkin ia ingin menggenggam atau mengelus batang penisku. Tapi aku langsung naik ke ranjang dan kembali menekuni busungan memeknya. Kali ini kuusap-usap bibir kemaluannya. Termasuk gelambir daging yang menyeruak keluar berwarna hitam kebiru-biruan yang berbentuk mirip jengger ayam.

Tertarik pada tonjolan daging sebesar kacang tanah itu, jariku menelusup, menyentuh dan mencongkel-congkel perlahan. Ternyata Bu Likha menggelinjang hebat sampai tubuhnya tergetar. “Aauuuww… aahhh… aahhh… sshhh ya Man itu itil ibu. Enak… sshhh… aaahh… ssshh,” rintihnya tertahan.

Tahu kalau itu adalah itilnya, aku jadi tak sabar. Meskipun ada sedikit bau pesing, kudekatkan mulutku dan mulai menjilati bibir kemaluan Bu Likha. Kusapu-sapukan lidahku ke seputar rongga memeknya yang terbuka. Bu Likha menjadi kelojotan dan mengerang-erang. “Ah… aahhhh… aaakkkhhhh… enak banget Man.

Bu Likha makin terpanggang oleh nafsunya. Ia menikmati jilatan-jilatan lidahku di liang sanggamanya. Sesekali itilnya kecurecupi dengan mulutku. Saat kucongkel-congkel itilnya dengan lidahku, Bu Likha menekan kepalaku agar wajahku lebih membenam di selangkangannya. Untungnya hujan di luar mengguyur deras dengan suara menggemuruh dan pintu kamar telah terkunci rapat.

Puncaknya, mungkin karena sudah kegatelan, Bu Likha menarik tubuhku. Saat aku telah berada di atas menindihnya, ia meraih batang kontolku dan di arahkan ke lubang memeknya. Diusap-usapkannya sebentar di seputar bibir memeknya lalu memerintahkanku untuk menekannya. “Tekan Man… aaahhh… sshhhh… aahh..

Bleeseekk!! Sekali sentak batang kontolku amblas melesak masuk ke kedalaman lubang memeknya. Hangat dan basah. Itu yang kurasakan pada batang zakarku. Tetapi nikmat tak terkira dan membuat anganku melayang jauh ke awang-awang. Berbeda dengan saat aku mengocok sendiri kontolku. Apalagi dinding-dinding vagina Bu Likha juga terasa berkedut-kedut hingga secara reflek aku mulai memompa.

Bu Likha semakin blingsatan. Mengerang-erang dan mendesah. “Enak… Man… aaakhhh… aaakhhhh enak… Ibu sudah lama tidak ngentot. Terus Man.. sshhhh… oohkkk terus sogok memek ibu,” ujarnya menyemangatiku saat kontolku terus mengaduk-aduk memeknya.

Gairahku jadi makin terpacu. Sambil terus menggenjot menancapkan batang kontolku, tetek besar Bu Likha yang terasa empuk kuremasi. Puting-putingnya kukulum dan kuhisap. Tindakanku membuat istri Pak Rokhim makin kesetanan. Nafasnya mendengus dan memburu. Mungkin karena usia tuanya. Aku jadi makin merasakan nikmatnya lubang memek Bu Likha saat ia mulai menggoyang-goyangankan pantatnya.

Akhirnya aku dan Bu Likha tidak bisa lagi bertahan lebih lama. Setelah menggoyang-goyang kencang pinggulnya dengan nafas yang kian memburu, Bu Likha mulai mengangkat tinggi-tinggi pantatnya. Saat itu dinding-dinding vaginanya terasa menyedot dan menghisap kontolku hingga memberi sensasi kenikmatan yang tiada tara.

Tak tahan oleh empotannya aku memekik dan mendesah. Dengan sekuat tenaga kutancapkan senjataku di liang sanggaman Bu Likha. Saat itu secara bersamaan tubuh kami bergetar hebat dan akhirnya sama-sama ambruk setelah meraih puncak kenikmatan yang kurasakan. Entah berapa banyak air maniku yang memancar dan membanjir bagian dalam memek tembem wanita itu.

Saat aku terbangun, Bu Likha sudah tidak ada di sampingku. Segelas besar teh panas terlihat terhidang di atas meja di sudut kamar. Aku yang kehausan setelah tenagaku sempat terkuras langsung mengambil dan menikmati teh hangat manis yang terasa nikmat itu. Tubuhku terasa menjadi lebih segar setelah menghabiskan teh manis itu lebih dari setengahnya.

Sepertinya ia baru selesai mandi. Harum sabun mandi membaui hidungku. Tubuh Bu Likha dibalut handuk yang tak mampu menutupi bagian tubuh tinggi besarnya. Sebagian pahanya tampak menyembul karena ujung handuknya di bagian bawah hanya mampu menutupi bagian kakinya jauh di atas lutut. Tetek gedenya juga seperti hendak memberontak dari handuk yang membelitnya.

Istri Pak Rokhim itu tahu kemana tatap mataku tertuju. Ia tersenyum dan melepas handuk yang melilit tubuhnya hingga kembali terpambang tetek dan memek tembemnya. “Masih penasaran ya lihat punya ibu. Kamu mandi dulu sana biar seger, nanti ibu kasih yang lebih anak lagi,” ujarnya sambil menyerahkan handuknya padaku.

Meski masih belum puas menatapi busungan memeknya, kupikir memang lebih seger setelah mandi. Seperti yang diperintahkannya, aku melangkah ke kamar mandi sambil membawa handuk bekas dipakai Bu Likha. Di luar hujan masih turun. Nampaknya hujan akan terus mengguyur semalaman, ujarku membathin. Kalau mungkin, hujan terus mengguyur sampai pagi agar Pak Rokhim tidak mendengar yang kami lakukan dengan istrinya di kamar.

Usai mandi saat aku melintas di dapur, kulihat Bu Likha tengah membuat minuman di dalam gelas. “Pak Rokhim bangun. Tapi nggak apa-apa. Kamu masuk saja lagi ke kamar,” kata Bu Likha santai.

Mengetahu Pak Rokhim sudah bangun sebenarnya agak grogi. Namun melihat Bu Likha sangat santai, seperti tidak ada yang perlu dicemaskan. Apalagi kutahu mata Pak Rokhim sudah tidak bisa melihat dan hanya bisa berbaring di tempat tidur karena sakitnya. Seperti yang diperintahkan Bu Likha, aku kembali masuk kamar tidurnya.

Permainan babak kedua kembali berlangsung setelah Bu Likha kembali masuk kamar. Kali ini permainan menjadi sangat santai. Ia memintaku berbaring dan mulai mencumbu. Cumbuanya membuatku merintih tertahan karena ia langsung mengulum kontolku setelah sebelumnya menjilati dan menyapu-nyapukan lidahnya di sekitar dadaku.

Hispan mulutnya di biji-biji pelerku sungguh menerbitkan nikmat tak terkira. Tak kusangka wanita yang dalam keseharian sangat sederhana dan sudah memiliki dua orang cucu ini masih ganas dalam urusan ranjang. Aku mengimbanginya dengan meremasi buah dadanya. Teteknya yang menggantung kuremas-remas dan sesekali kupilin-pilin pentilnya.

Posisi Bu Likha merangkak membelakangiku. Ia terus asyik mengulum dan menghisapi kontolku serta memain-mainkan biji pelirku dengan lidahnya. Sambil menikmati kulumannya kupandangi bongkahan pantat besarnya. Lubang duburnya yang kehitaman terlihat sangat rapat dan banyak ditumbuhi bulu-bulu halus. Kontras dengan lubang memeknya yang menganga mirip lorong sebuah gua.

Tak tahan hanya menikmati kuluman dan jilatannya, Bu Likha kuminta merubah posisi merangkak di atas tubuhku. Hingga aku bisa ikut mencerucupi lubang memeknya sementara Bu Likha asyik mempermainkan kontolku dalam mulutnya. Bahkan karena gemas, bukan hanya memek dan itilnya yang kucucuk-cucuk dengan lidahku.

Kata Bu Likha, seumur hidupnya baru kali ini merasakan lubang duburnya dijilat. “Maaann.. kamu apakan… aaahhkkk… ssshhhhh oooowwhhhh, enaaakkk baangetss. Ahh.. aahh… terus jilat Man… ya… yaa… aakhhh,”

Erangan dan rintihan Bu Likha sangat keras. Aku yakin Pak Rokhim yang tidur di bale-bale di ruang tamu mendengar desahan dan erangan nikmat istrinya. Antara ruang tamu dan kamar hanya dipisahkan oleh dinding yang terbuat dari bilik bambu. Tetapi sepertinya Bu Likha tidak peduli. Ia terus saja merintih dan mengerang seiring jilatan-jilatan lidahku di lubang dubur dan itilnya.

Wajahku belepotan oleh lendir bercampur ludah yang menetes dari rongga memek Bu Likha karena kemaluan wanita itu tepat berada di atas wajahku. Bahkan sesekali ia membenamkan memek tembemnya ke wajahku sambil mendengus-dengus dan meremasi sendiri susunya. Sampai akhirnya Bu Likha memintaku untuk menyudahi acara pemanasan setelah dari lubang nikmatnya mengalir cairan yang terasa asin di mulutku.

Enaknya memek istri Pak Rokhim kembali kurasakan setelah kami memasuki babak persetubuhan. Bu Likha memintaku tetap tiduran telentang. Sementara ia berdiri dengan kedua kaki berada diantara pingglku. Saat ia menurunkan pinggul dan berjongkok, memeknya yang menganga mendekati tonggak daging kontolku yang tergak terpacak.

Tetapi ia tidak segera melakukannya. Kulihat ia tersenyum dan tangannya meraih penisku untuk digesek-gesekkan ke sekitar bibir memeknya. “Kamau suka memek ibu Man? Kontolmu ternyata gede ya Man. Enak banget ngentot sama kamu,”

“Ii.. iiya Bu. Memek ibu juga enak saya sangat suka. Ayo dong Bu masukan… aahh.. ahh,” ujarku tak sabar.

Saat ujung penisku menyentuh bibir kemaluan Bu Likha dan akhirnya masuk seluruhnya ke lubang nikmat itu seiring turunnya pantat wanita itu, aku mendesah. Apalagi setelah ia mulai beraksi menggoyang pantatnya maju mundur. Sungguh sedap dan nikmat terasa.

Bu Likha juga merem melek. Mungkin sama menahan nikmat akibat sogokan kontolku di liang sanggamanya. Ujung penisku terasa menembus menyentuh langit-langit atas lubang vagina wanita itu. Aku menikmatinya sambil menatapi teteknya yang berayun-ayun. Pasti Mbak Lasmi, anak Bu Likha semasa bayi sering menghisap tetek itu.

Namun bagaimanapun, ia wanita berumur 53 tahun usia Bu Likha tidak bisa dibilang muda. Tenaganya menjadi cepat habis. Maka tak lebih dari 5 menit menggoyang tubuh sudah kepayahan. “Kamu di atas ya Man. Ibu sudah capai,” ujarnya.

Aku mengangguk dan langsung berganti posisi. Kini Bu Likha benar-benar telah pasrah dalam kenadaliku. Kukobel-ngobel kelentitnya yang membuatnya semakin kelabakan dan ia langsung kutindih. Kuarahkan kontolku ke lubang memeknya dan kutekan. Maka amblaslah batangku di lubang memek tembem itu.

Hunjaman kontolku awalnya perlahan. Namun makin lama semakin cepat dan sengaja kusentak-sentakan. Bu Likha jadi merintih dan mengerang-erang. Rintihan dan eranganya jauh lebih keras. Bahkan kendati terdengar suara batuk suaminya yang menandakan pria itu terbangun, Bu Likha tidak berusaha merendahkan suaranya.

Tak sampai sepuluh menit, tubuh Bu Likha menegang dan bergetar hebat. Sambil memekik dipeluknya erat tubuhku. Dari semburan panas yang kurasakan di sekitar lubang memeknya aku tahu ia kembali mendapat orgasmenya. “Ibu keluar Maa… aakh… aaauuuwww… ssshh… aaaooohhh,”

Melihat kenikmatan yang tengah dirasakan istri Pak Rokhim, kontolku makin kutekan dan kusodok-sodokan dengan cepat di liang vaginanya. Maksudnya agar aku dapat segera memperoleh orgasme seperti yang dirasakannya. Tetapi Bu Likha malah semakin kelojotan dan erangannya semakin keras. Aku jadi takut kalau-kalau suaminya semakin curiga hingga kontolku langsung kucabut.

Sasaranku berikutnya bukan di lubang memeknya. Tetapi kusodorkan dan kugesek-gesekan di sekitar mulutnya. Rupanya Bu Likha tahu aku ingin segera mendapat orgasme seperti yang baru dinikmatinya. Hingga tanpa meskipun batang kontolku belepotan air mani ia langsung mengulum dan menghisapi batang zakarku.

Saat maniku hendak memancar, aku bukannya mencabut tetapi malah menjejalkan batang kontolku ke mulutnya. Hingga saat menyembur, air mani yang keluar tumpah di rongga mulut Bu Likha. Malah sebagian ada yang memancar di seputar wajah dan kelopak matanya. Tetapi Bu Likha tidak marah ia malah tersenyum dan memelukku saat tubuhku menggelosoh terkapar di sisinya.

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan