2 November 2020
Penulis —  Rangers Silver

Bu Lestari

BU LESTARI

Kejadiannya 13 tahun yang lalu, saat a ku masih kuliah disebuah kota S di P. Aku mempunyai teman satu angkat an satu jurusan Yon namanya, berasal dari kota W. Kami begitu lengketnya, study, ngobrol, jalan ngalor ngidul, nga pelin cewek satupun sering barengnya. Sampai kecewapun sering bareng-ba reng.

Tinggallah Ibu Tari ini sama suaminya yang pengusaha jasa konstruksi dan trading itu dengan pembantu dan sopir. Kebetulan Yon ini keponakan kesaya ngan. Wajar saja dia suka besar kepala karena jadi tumpahan sayang Ibu Tari. Sampai suatu saat dia minta tinggal di luar rumah utama yang sebenarnya berlebih kamar, ya si tante nurut saja.

Ruang yang dia minta dan bangun ada lah gudang disebelah garasi mobil. De ngan selera anak mudanya dia atur in terior ruangan itu seenak perutnya. Se tengah selesai penataan ruang yang ak hirnya jadi kamar yang cukup besar I tu, sekali lagi Yon menawarkan diri a gar aku mau tinggal bersamanya. Saat itu Ibu Tari, hanya senyum-senyum sa ja.

Seperti dulu-dulupun aku menolak nya. Gengsi dikitlah, sebab ikut tinggal dirumah Bu Tari berarti semuanya ser ba gratis, itu artinya hutang budi, dan artinya lagi: ketergantungan. Biar aku suka pusing mikirin uang kost bulan an, makan sehari-hari atau nyuci paka ian sendiri, sedikitnya dikamar kostku aku seperti manusia merdeka.

Tapi hari itu, entah karena bujukan mereka, atau karena sayangku juga pa da mereka dan sebaliknya sayang me reka padaku selama ini. Akhirnya aku terima juga tawaran itu, dengan per janjian bahwa aku tidak mau serba gratis. Aku maunya bayar, walaupun uang bayaran kostku itu ibarat ngen cingin kolam renang buat Bu Tari yg memang kaya itu.

Ada satu hal sebenarnya yang ikut jg menghalangiku selama ini menolak ta waran Yon atau Bu Tari untuk tinggal dirumahnya. Entah kenapa aku yang a nak muda begini, suka merasakan ada sesuatu yang aneh didada kalau berta tapan, ngobrol, bercanda, diskusi dan berdekatan dengan bu Tari. Perempuan yang selayaknya jd tante atau bahkan ibuku itu.

Buatku ibu Tari bukan ha nya sosok perempuan cantik atau sedi kitnya orang yang melihatnya akan menilai bahwa semasa gadisnya bu ta ri adalah perempuan yang luar biasa. Bukan hanya sekedar bahwa sampai setua itu ibu tari masih punya bentuk tubuh yang meliuk-liuk. Senyumnya, dada, pinggang, sampai kepinggulnya suka membuatku susah tidur dan ba ru lega jika aku beronani membayang kan bersetubuh dengannya.

Gejala apa ini, apakah wajar aku terobsesi sosok perempuan yang tidak hanya sekedar cantik, tapi berintelegensi bagus, penuh kasih dan mature. Buatku secantik apapun perempuan jika tidak punya tiga unsur itu, hambar dalam selera dan pandanganku. Seperti sebuah buku kartun yang tolol dan tidak lucu saja layaknya.

Selama aku tinggal dirumah Bu Tari itu, pada awalnya semua biasa saja. Perhatian dan sayang Bu Tari kurasakan tak ada bedanya terhadapku dan Yon. Kupikir semua ini naluri keibuannya saja. Tetapi semua itu berjalan hanya sampai kurang lebih 4.

Disuatu malam dari balik jendela kamarku kulihat beberapa kali ibu tari keluar masuk rumah dengan gelisah menunggu Pak Bagong yang sampai jam 22.00 belum pulang. Sebentar dia kedalam sebentar keluar lagi, duduk dikursi, memandang kejalan dengan muka gelisah, membalik-balik majalah lalu masuk lagi. Keluar lagi.

Aku beranjak kekamar mandi untuk kencing. Buku Nick Carter yang sedari tadi membuat kontolku ngaceng kugeletakan dimeja. Tapi begitu aku kembali ternyata bu Tari sudah duduk dikursi panjang di kamarku memegang buku itu. Aku hanya meringis ketika bu Tari meledekku membaca buku Nick Charter yang pas dicerita ah-eh-oh kertasnya aku tekuk.

Sesaat setelah kami kehabisan bahan bicara, muka Bu Tari kembali mendung lagi. Dia berdiri, berjalan kesana sini dengan pelan tanpa suara merapikan apa saja yang dilihatnya berantakan. Sprei tempat tidur, buku-buku, koran, majalah, pakaian kotor dan asbak rokok. Ya maklum kamar bujanganlah. Aku pindah duduk dikursi panjang lantas mematung memperhatikannya.

Setelah selesai, sejenak bu Tari hanya berdiri, melihat jam didinding lalu menatapku dengan mata yang kosong. Aku coba untuk tersenyum sehangat mungkin. Bu Tari duduk disampingku. Mukanya yang tetap murung akhirnya membuatku berani bicara mengomentari sikapnya belakangan ini dan bertanya kenapa?. Bu Tari tersenyum hambar, menggeleng-gelengkan kepala, diam, menunduk, menarik napas dalam dan melepasnya dengan halus.

Seperti kampung yang diserbu provokator dan perusuh saja, otakku tercabik-cabik, terbuka. Hubungan bu Tari dengan suaminya selama ini ternyata semuanya penuh kepura-puraan. Kemesraan mereka semu tak bernurani, bagai sebuah ruangan setengah kosong, dan setengahnya lagi sekedar keterpaksaan pelaksanaan kewajiban saja.

Entah karena kesepian, butuh orang sebagai tumpahan hatinya yang kesal dan rasa disia-siakan. Bu tari menceritakan bahwa pak Bagong sudah lama mempunyai istri simpanan disebuah perumahan menengah pinggir kota. Tak pernah hal ini dia ceritakan kepada siapapun juga kepada anaknya sendiri mbak Clara di Jakrta.

Sama dengan kebanyakan istri-istri pejabat yang walaupun tahu suaminya punya simpanan perempuan, bu Tari hanya bisa menahan hati. Konon katanya, justru sebenarnya banyak istri pejabat yang malah mencarikan perempuan khusus untuk dijadiakn simpanan suaminya sendiri, demi keamanan, nama baik” dan jabatan.

“Dia ingin punya anak laki-laki Win (Win nama palsu gua, mau yang asli tanya dukun santet!)” Begitu ucap Bu Tari malam itu. Matanya mulai berkaca-kaca. Dulu bu Tari memang suka bercerita betapa inginnya dia punya anak laki-laki yang banyak. Dia suka menyesali diri kenapa Tuhan hanya memberinya satu anak saja.

“Apakah itu alasan yang wajar Win” Ucapnya lagi. Kedua tanganya memegang tangan kananku dan matanya yang memelas lurus menatapku. Seolah meminta dukungan bahwa kelakuan Pak Bagong salah. Aku bingung. Mau ngomong apa, seribu kata aduk-adukan diotak hingga aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Diluar dugaanku, tangis bu Tari malah meledak tertahan.

Dia jatuhkan mukanya kepundak kiriku. Aku bingung, tapi naluri lelakiku berkata dia teraniaya dan butuh perlindungan, hingga akhirnya tanganku begitu saja merengkuhnya. Bu tari malah membenamkan wajahnya kedadaku. Aku elus-elus punggungnya dan dengan pipiku kugesek-gesek rambutnya agar dia tenang. Kucium wangi parfum dari tubuh dan rambutnya.

Sesaat rasanya, sampai akhirnya Bu Tari menarik mukanya dan memandangiku dengan senyumnya yang gusar. Aku ikut tersenyum. Ada malu, ada rasa bersalah, ada pertanyaan ada kehausan dimata Bu Tari, dan ada yang menyesakan dadanya. Entah rasa sayang atau sekedar untuk menetralisir hatinya, aku usap air matanya dengan jariku.

“Ibu bahagia sekali win kamu mau tinggal disini. Entah bagaimana rasanya rumah ini kalau tak ada kamu dan Yon. Sepi. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mungkin ibu bisa mati ngenes dirumah sebesar ini” Ucap Bu Tari pelan tertunduk murung.

“Kenapa ibu baru menceritakannya sekarang?” Ucapku.

“Untuk apa?” Ucap bu Tari menggeleng-geleng.

“Setidaknya beban ibu dapat berkurang”

“Buat ibu cukup melihat kamu dan Yon ceria dan bahagia dirumah ini. Kalianlah yang justru membuat ibu betah dirumah. Untuk apa ibu harus mengurangi semua itu dengan masalah ibu. Ibu sayang pada kalian” Ucap Bu Tari sambil memegang jari tanganku. Aku membalasnya dengan meremas jari jemarinya pelan.

“Kamu sayang pada ibu kan win? Tanya Bu Tari menatapku.

Aku menggangguk tersenyum. Bu Tari tersenyum bahagia. Lalu entah kenapa aku nekat begitu saja mendekatkan mukaku, mencium kening dan pipinya dengan lembut. Kulihat wajah Bu Tari yang surprise tapi diam saja.

“Bu tari marah?” tanyaku. Dia menggeleng-geleng dan malah balas menciumku, menyenderkan kepalanya miring dipundakku dan melingkarkan tangan kanannya dipinggangku. Kupeluk dia. Lama sekali rasanya kami saling berdiam diri. Tapi aku merasakan kedamaian yang luar biasa. Sampai akhirnya suara motor Yon yang katanya habis diskusi dikelompok studinya tiba dan suara pintu gerbang terbuka.

Sejak kejadian malam itu hubunganku dengan Bu Tari jadi kian aneh. Mungkin awalnya hanya sekedar memperlihatkan rasa sayang dan cinta layaknya seorang anak pada ibunya dan sebaliknya. Walau dengan diam-diam disetiap kesempatan yang ada kami saling tidak menyembunyikan semua itu. Bertatapan dengan mesra, bercanda dan saling memperhatikan lebih dari dulu-dulu.

Tapi seperti air yang tak diatur, semua mengalir begitu saja. Kian lama bu Tari dan aku berani saling mencium. Cium sayang dan lembut disetiap kesempatan yang ada tanpa seisi rumah tahu Tapi kegalauan dihatiku tetap saja tak dapat kuingkari. Sering aku bertanya sendiri: sayangku, cintaku, ciumanku dan pelukanku pada Bu Tari apakah manifestasi seorang anak pada sosok ibunya, atau seorang lelaki pada seorang perempuan.

Semua itu berjalan sampai tak dapat kuingkari bahwa birahi selalu mengikutiku jika aku berdekatan dan mencium Bu Tari. Selama ini aku berusaha menekannya. Tapi itu meledak disuatu sore yang sepi.

Semula aku hanya ingin meminjam koran yang biasanya tergeletak diruang keluarga rumah utama. Tapi saat kulihat Bu Tari tengah berdiri menikmati ikan-ikan hias aquariumnya. Tiba-tiba aku ingin menggodanya. Aku berjingkat perlahan dan menutup kedua matanya dengan tanganku dari belakang. Ibu Tari kaget berusaha melepaskan tanganku.

“Wiiiinnn kamu bikin kaget ibu saja akh..” Ucap Bu Tari tetap membelakangiku dan menarik kedua tanganku kedepan dadanya. Bu Tari bersandar didadaku. Kedua tanganku tepat mengenai payudaranya yang kurasakan empuk itu. Gelora aneh mengalir didarahku. Sementara Bu Tari terus mengomentari ikan-ikan didalam aquarium, aku justru memperhatikan bulu-bulu lembut dileher jenjangnya Rambutnya yang lurus sebahu saat itu tertarik keatas dan terjepit jepitan rambut, hingga leher bagus itu dapat kunikmati utuh.

“Hiiiii. Jangan Wiiinnnn akhhhh… Merinding ibu ah”

Dekapan tanganku ditetek dan dadanya makin kuat. Ketika kuperhatikan dia tidak marah dan tenang maka kuulangi lagi kecupan itu berulang-ulang. Kumis dan bekas cukuran dijanggutku membuatnya geli. Tapi kurasakan tangan Bu Tari perlahan mencengkram erat dikedua jariku dan dia diam saja. Aku makin bernapsu.

Ciuman, kecupan dan hisapan bibirku makin menjadi-jadi keleher dan telinganya. Bu Tari mendesah memejamkan mata. Kepalanya bergerak-gerak mengikuti cumbuanku. Matanya terpejam dan napasnya menggelora. Kucari bibirnya, karena susah maka kuputar tubuhnya menghadapku dan langsung kusambar dengan bibirku.

Kupeluk erat Bu Tari. Dia menggeliat membalas permainan bibirku. Kedua tangannya memegangi bagian belakang kepalaku seolah takut aku melepaskan ciuman bibirku. Kuremas-remas teteknya dengan tangan kananku. Bu Tari melepaskan ciumannya lalu merintih-rintih dengan kepala terdongak kebelakang seolah memberikan lehernya untukku.

Bu Tari menjauhiku dan menempelkan kepalanya kedinding menahan hati. Akupun bisu. Hening. lama sekali. Aku kian gelisah. Aku ingin keadaan itu berakhir. Aku dekati bu Tari, memeluknya lagi. Kata-kata cinta meluncur begitu saja dari mulutku. Semua itu membuat bu Tari bingung. Menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari masuk kekamar menahan tangis.

Beberapa hari sejak kejadian itu Bu Tari tidak menyapaku Dia selalu berusaha menghindariku. Aku bingung, aku takut dia marah. Aku takut dia menolak cintaku. Aku takut gila, mencintai ibu kost sendiri, istri orang dan perempuan yang jauh lebih tua dariku. Ditolak pula. Bah!. Aku mulai murung. Tapi itu hanya lebih kurang dua minggu.

Hanya sampai pada suatu malam, bulan jatuh dipelukanku saat Bu Tari lembut menyapaku dan tanpa bicara sepatah katapun menciumiku. Bah!. Sedari dulu juga, jika dibalik kematureannya sesekali kulihat kerling genitnya, adalah bukti bahwa sebenarnya sudah lama aku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi Bu Tari takut bicara tentang cinta, bahwa dia sayang, merindukan dan membutuhkanku adalah iya.

Selanjutnya kami selalu berusaha bersikap wajar didepan seisi rumah maupun tetangga. Satu hal yang pasti bahwa kami bisa dengan bebas saling bercerita tentang apa saja. Termasuk kebiasaanku beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya yang membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Sebaliknya dari bu tari aku tahu, bahwa suaminya pak Sd itu aneh, diranjang bertempur tidak pernah menang tapi malah punya simpanan.

Kami terus mengalir tanpa halangan yang berarti. Maksudku tanpa tindak-tanduk yang dapat menimbulkan kecurigaan orang seisi rumah maupun tetangga. Sampai suatu hari Pak Falcon tetangga kami yang tinggal 6 rumah dari kami melangsungkan pernikahan anaknya. Seharian itu aku dirundung napsu dan cemburu.

Seperti biasanya jika dilingkungan perumahan itu ada pernikahan maka Pak Bagong dan Bu Tari akan menjadi penerima tamu. Pak Bagong akan berbaju beskap, berjarik, blangkon dan berkeris. Bu Tari akan berkebaya, berjarik dan berselendang dengan rambut konde yang rapi. Bu Tari sendiri tahu bahwa dengan pakaian seperti itulah seringkali aku mengungkapkan kekagumanku atas kecantikan dan sex apple yang ditimbulkannya.

Rasanya aku gelisah terus melihat kesintalan tubuh Bu Tari yang terlilit pakaian adat jawa yang ketat itu. Jika berjalan pinggulnya bergoyang-goyang mengundang sensasi. Beberapakali kutebar pandanganku berkeliling, selalu saja kulihat ada mata tamu pria entah muda, entah tua ada yang tengah melirik atau memperhatikannya.

Tetapi sebelum seremoni perkawinan itu usai tiba-tiba pembantu Bu Tari, yang biasanya aku panggil mbak Suti datang mengabarkan bahwa barusan dia terima telepon dirumah yang mengabarkan adik Pak Bagong yang tinggal di kota P mengalami kecelakaan lalu lintas. Pak Bagong, Bu Tari, Yon, Mbak Suti dan aku akhirnya pamit pulang duluan pada pak Falcon.

Sampai dirumah, Pak Bagong dan Ibu Tari menelepon balik ke kota P melakukakn konfirmasi berita. Adik pak Bagong bersama Dorti anaknyalah yang mengalami kecelakaan. Mobilnya tertabrak bis antar kota yang selip. Dua-duanya masuk IGD rumah sakit dan Pak Bagong sebagai anak tertua dikeluarganya diminta datang.

Teman sekamarku Yon sendiri ingin ikut nengok. Yon naksir berat pada Dorti, pernah menyatakan cinta dua kali. Tapi dua kali pula Dorti menolak. Sementara Ibu Tari sendiri harus tetap tinggal karena besok pagi ada tim BPKP dari Jakarta yang akan datang melakukan audit dikantornya. Ibu Tari key person yang harus ada.

Pak Bagong dan Yon berangkat ke kota P dengan mobilnya dan akan mampir kerumah pak Sarmin supirnya dulu untuk diajak berangkat. Aku, Bu Tari dan Mbak Suti ngobrol sebentar membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada adik pak Bagong dan anaknya. Sampai mbak Suti menguap beberapa kali. Selama ngobrol tak pernah mataku lepas dari busungnya dada Bu Tari dengan teteknya yang montok dan sedikit terlihat.

“sudahlah sana tidur kalau ngantuk, aku tidak balik lagi kerumah pak Falcon kok ti, wong hampir selesai kok” Ucap. Bu Tari beranjak pergi katanya mau pipis. Ketika Bu Tari berjalan, pinggulnya yang bergoyang-goyang tak lepas mataku. Begitu padat, begitu bulat.

Mbak Suti langsung pamit tidur. Tinggallah aku diruang tengah itu, sendiri, melamun. Sekian lama hubungan kami berjalan. Selama ini kami hanya sampai batas berpelukan, berciuman, saling tindih diranjang dengan napas yang menderu-deru dan berujung orgasme tanpa coitus. Entah berapa kali kontolku menekan-nekan dan menggesek-gesek dimemeknya yang basah bercelana.

Langkah Bu Tari terdengar dan terus kupandangi sekujur tubuhnya yang semampai melenggok-lenggok, dari kepala sampai kaki ketika dia berjalan kearahku. Stagen dipinggangnya sudah tak ada hingga perutnya sedikit terlihat. Dadaku berdebar-debar. Berkali kali kutelan ludah.

“Kamu melihat ibu, kaya ibu ini apaan sih?!” ucap Bu Tari genit mengibaskan tangan kanan dimukaku.

“Ibu cantik sekali, makin sexy, sexy sekali berkebaya dan saya terangsang sekali” Ucapku asal saja menunjuk kekontolku.

“Hus. Sekali, sekali. Daripada melamun sini pijitin ibu” Ucap Bu Tari duduk membelakakingiku dan menepuk pundaknya. Aku pijit kedua pundaknya perlahan-lahan. Bu Tari kadang menggeliat keenakan.

Makin lama pijitanku makin turun, kepunggungnya, ke tulang-tulang rusuknya, kepinggangnya. Tak lama kutarik pundaknya dan kusandarkan punggungnya kedadaku, kutempelkan pipi kananku kepipi kirinya. Lalu kupijit kedua pahanya, kuelus-elus dan kuremas-remas sampai kepinggulnya. Bu Tari memejamkan matanya.

Pijitan bercampur elusan kedua tanganku merambat naik dan berhenti didadanya untuk meremas-remas buah dada yang kurasakan besar dan kenyal itu. Mukaku kugesek-gesekan dirambut dan kondenya, pipinya, dan kukulum-kulum telinganya. Deru napas Bu Tari mulai tak teratur kadang diselingi desahan halus. Tangan kanannya mencoba meraih kepalaku, kadang mencengkram lembut rambutku.

Telapak tangan kirinya digosok-gosokan kepipi kiriku. Remasan tanganku ke buah dadanya makin liar, mukaku meliuk-liuk menciumi apa saja dikepalanya. Kubuka kancimg baju kebayanya. Sembulan sepertiga buah dada dari BHnya indah sekali. Aku makin terangsang. Kontolku yang ngaceng sejak tadi ingin meledak rasanya.

Ku tarik baju kebayanya turun kebelakang hingga pundak dan lehernya bebas kuciumi dan jilati. Ibu Tari mengerang nikmat. Kulingkarkan kedua tanganku memeluknya erat-erat. Bibir Bu Tari yang setengah terbuka kusambar dengan bibirku dan kukulum habis. Ujung lidah kami beradu, kutelusuri lidahnya sampai seberapa jauh dapat masuk, kerongga-rongga mulutnya.

Aku dan Bu Tari mulai tak tahan, kurebahkan dia disofa. Kutelusuri tubuhnya, kuciumi dari muka, dada, perut paha, dan betisnya yang masih dibalut kain jarik. Naik lagi dan kutindih Bu Tari. Erangannya makin merangsangku. Kubuka ikat pinggangnku.

“Jangan disini sayang. Nanti kalau Suti bangun…”Tiba-tiba ucap Bu Tari tak menyelesaikan kalimatnya. Kami berdiri. Bu Tari melepas resleting celanaku, memasukan tangannya kecelana dalamku dan meremas-remas kontolku yang tegang dengan geregetan.

“Heeeemmmmmm” Ucapnya lalu membimbingku masuk kekamarnya berjalan mundur dengan memegang dan menarik kontolku. Itu membuat kami tertawa.

Pintu kamar dikuncinya cepat-cepat. Kubuka bajuku dan Bu Tari setengah menunduk membuka celanaku lalu mencari kontolku. Begitu dapat langsung dimasukan kemulutnya, dijilati dihisap-hisap, diciumi dan kadang dikocok-kocok dengan tangannya. Yang begini belum pernah dia lakukan. Aliran kenikmatan merambat sampai ubun-ubun kepalaku.

Aku memberinya isyarat agar melepaskan kontolku. Aku dipuncak napsu dan ingin memasukan kontolku langsung saja kememeknya, tapi dia menolak. Badanku rasanya makin bergetar dengan tulang yang mau berlepasan dan syaraf-syaraf ditubuhku rasanya kelojotan nikmat. Bu Tari begitu bernapsu dan nikmat memainkan kontolku dimulutnya

Aku tak tahan dan minta rebahan diranjang. Bu Tari melepas baju kebayanya. Dengan tetap BH masih didada dan kain jariknya yang belum terlepas, mulutnya langsung mengejar burung pusakaku sampai dua biji telornyapun dia cium, jilat dan hisap. Aku makin bergelinjang, melayang-layang nikmat. Hingga dipuncaknya, aku tak sempat lagi memberitahunya kalau pejuhku mau keluar.

“Ibu telan?… Apa ibu tidak jijik?” Tanyaku bodoh.

Ibu Tari menggeleng, justru mukanya cerah, kepuasan terpancar diwajahnya. Aneh pikirku.

“Orang bilang, meminum air mani perjaka akan membuat perempuan awet muda. Lepas betul atau tidak yang terang ibu sudah mencobanya barusan sayang” Ucap Bu Tari lalu menciumiku dari muka sampai dadaku, sementara tangan kanannya terus meremas-remas kontolku.

“Ayo lagi sayang, ibu pingin kamu puas” Ucap Bu Tari mesra. Kontolku yang tadi terkulai karena sudah keluar pejuh dan shock mulai menegang lagi akhirnya. Bu Tari kembali mengulum dan menghisap-isap kontolku. “Kalau ibu masih pingin, ambil semua pejuh saya” Ucapku Ibu Tari tersenyum. Kubuka BHnya dan kutarik lilitan kain jariknya.

Bu Tari berdiri untuk memudahkan melepas kain jariknya. Tubuhnya yang telanjang bulat langsung kuterkam, kurebahkan dan kutindih. Dua teteknya yang besar itu kuhisap-hisap putingnya bergantian. Tangan kananku menggosok-gosok memeknya. Kuciumi, kujilati dan kuhisap-hisap semua bagian yang menurut instingku bisa membangkitkan gairahnya.

Bibir, lidah, telinga, kuping leher, tetek, perut, pusar, paha, memek, betis sampai ke jari dan telapak kakinya. Tubuh Bu Tari bergelinjangan tak karuan dadanya naik-turun kelojotan. Tangan kirinya meremas-meremas teteknya dan tangan kanannya menggosok- gosok memeknya sendiri. Konde rambut Bu Tari hampir terlepas.

Mulutku naik lagi keatas menyusuri betis dan paha hingga akhirnya berhenti dimemeknya. Dengan kedua tanganku kusibak pelan jembutnya. Kulihat belahan memeknya yang memerah berkilat dan bagian dalamnya ada yang berdenyut-denyut. Kuciumi dengan lembut, bahu dimemeknya membuat sensasi yang aneh. Tak pernah ada bahu seperti ini yang pernah kukenal rasanya.

Dengan hidung kugesek-gesek belahan memek Bu Tari sambil menikmati aroma bahunya. Erangan dan gelinjangan tubuhnya terlihat seperti pemandangan yang indah menggairahkan.

“AaaaKhhhk… Eeeekhhhh… enak sekali sayang. Teruuuuuusss sayang” Rintih Bu Tari. Kujulurkan lidahku, kujilat sedikit memeknya, ada rasa asin. Lalu dari bawah sampai atas kujulurkan lidahku menjilati belahan memeknya. Begitu seterusnya naik turun sambil melihat reaksi Bu Tari. “Akkhhh… Akkkhhhhh…

Akkkhhhhhhhh… Engghhh” Bu Tari terus merintih nikmat, tangannya mencari tangan kananku, meremas-remas jariku lalu membawanya keteteknya. Aku tahu dia ingin yang meremas teteknya adalah tanganku. Begitu kulakukan terus, tangan kananku’ meremas teteknya, mulutku menjilati dan menghisap-hisap memeknya, tangan kiriku mengelus-elus pinggang, paha sampai kebetisnya yang putih mulus dan halus itu.

“Akkkhhhh… sudah sayang… sudah… ayo sekarang sayang ibu sudah tak tahan akkkhhhh… masukan sayang, masukan” Desah bu Tari mengerang meraih kepalaku agar menghentikan jilatan dimemeknya dan minta dikentot. Tanpa harus mengulangi lagi permintaannya langsung saja aku merangkak naik, menindih tubuh Bu Tari.

Bu Tari melebarkan pahanya. Kontolku menuju memeknya. Beberapa kali kucoba, memasukan, beberapa kali pula gagal. Aku tak tahu mana yang pas lobangnya, mana yang hanya belahan memek. Tapi tangan Bu Tari segera membantu, memegang kontolku, membimbing kedepan lobang memeknya lalu berkata “Ya itu sayang…

disitu… tekan sayang tekan… disitu… aaakkkhhhh… ayo sayang… ibu tak tahan… ooo.. akkkhhhh” Ibu Tari merintih ketika kontolku yang kutekan masuk seluruhnya kelobang memeknya. Sejenak tubuhku kaku, aku diam saja, aku nervous. Batang kontolku rasanya terjepit oleh dinding memek Bu Tari yang seperti berdenyut-denyut dan menghisap-hisap.

Bu Tari menggoyang-goyangkan pinggulnya, setengah berputar putar dan kadang naik turun. Kontolku yang tertancap dimemeknya yang setengah becek dibuat seperti mainan yang membuatnya nikmat tak karuan.

“Ayo sayang… ayo… bareng-bareng sayang… ibu mau keluar sayang… ayo.. ayo…” Rintih Bu tari dengan mata setengah terpejam dan mulutnya yang terus terbuka mendesah-desah dan kian kuat menggoyang goyangkan pinggulnya. Akupun terus mengimbanginya sampai tiba-tiba Bu Tari seperti terdiam dan kedua tangannya merangkul leherku kuat-kuat dan dari mulutnya keluar desahan panjang: “Aakkkhhhhh…

Oukhhhhhhhh… Engkhhhhhh…” Bersamaan dengan rintih kepuasannya, denyutan dan hisapan memek Bu Tari makin kuat dan nikmat rasanya. Akupun sudah tak tahan lagi dan ingin agar pejuhku segera keluar. Karenanya kunaik turunkan kontolku, kuputar-putar dan kunaik-turunkan terus hingga akhirnya crooottt…

Beberapa saat kubiarkan tubuhku menindih tubuh bugil Bu Tari tanpa tangan atau dengkulku menahan beban badanku. Kontolku tetap menancap dimemeknya. Ketika ingin kucabut Bu Tari melarangnya. “Jangan sayang, jangan dicabut dulu, biarkan ibu memiliki dan menikmatinya, peluk… peluk… tetap tindihlah ibu sayang.

Malam itu kami habiskan tidur kelonan diranjang yang biasa Ibu Tari tidur dan ngentot dengan suaminya. Tapi sejak malam itu dan disetiap kesempatan yang ada kukentot pula Bu Tari diranjang yang sama. Aku tak perlu lagi hanya beronani dengan membayangkan ngentot dengannya, begitupula Bu Tari tak perlu lagi hanya sekedar membayangkan ngentot denganku jika ia melayani suaminya.

Kami baru ngentot dihotel jika salah satu dari kami sudah tak tahan lagi sementara kesempatan dirumah tak ada. Atau ketika obsesiku kumat untuk ngentot dengan Bu Tari dalam pakaian kebaya, kain jarik dan berkonde. Ini terkadang aneh, berlama-lama Bu Tari ke Salon rias, begitu selesai langsung ke Hotel dan kuobok-obok sampai berantakan.

Sering pula jika keadaan memungkinkan, Bu Tari suka menyelinap kekamarku untuk “fast sex”. Sex cepat dengan tetap masih berpakaian. Tandanya Bu Tari masuk kekamarku sudah tanpa celana dalam dan dipuncak napsu. Ini sering terjadi jika Bu Tari sedang butuh tapi Pak Bagong tak acuh terus tidur.

Tentang memek Bu Tari, mungkin itu yang disebut memek empot ayam. Memek yang tak pernah kutemui pada semua perempuan (adik-adik, mbak-mbak, tante-tante dan ibu-ibu rumah tangga yang muda maupun tua) yang pernah kutiduri, sampai hari ini sekalipun diumurku yang 37 tahun.

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan