3 November 2020
Penulis —  Cemcem77

ASMARA GELAP

MEMBINGUNGKAN

Selama hampir empat bulan hubunganku dengan Ferdy berjalan baik-baik saja. Asmara gelap kami selama itu tersimpan dengan rapi. Namun kedekatan kami sedikit demi sedikit kian terkuak, ibarat menyimpan bangkai lama-lama tercium juga. Dan akhirnya atasanku yang notabene adalah sahabat suamiku mengetahui hal ini.

Berhubung Mas Jodi adalah pemilik keputusan di perusahaan, akhirnya Ferdy di ‘mutasi’ ke suatu kota yang cukup jauh dengan kota tempatku tinggal. Mungkin bisa dikatakan kalau ‘mutasi’ itu adalah hukuman bagi kami. Ya, kami seolah-olah dijauhkan satu sama lain oleh Mas Jodi agar hubungan kami tidak berlanjut.

Dari kejadian tersebut, awalnya aku merasa beruntung karena keutuhan rumah tanggaku masih terjaga baik. Namun, setelah dua bulan berlalu hatiku mulai dirasuki sepi. Seperti ada sesuatu yang hilang, baik secara seksual atau emosional. Bayangan indah kebersamaanku dengan Ferdy selalu menghantui pikiranku.

Selanjutnya aku benar-benar sakit jiwa. Jiwaku merana dalam kesepian dan kehampaan di padang gurun yang kerap menjadikan jiwaku selalu merasa dahaga. Terhenyak aku! Ternyata aku terbelenggu! Jiwaku menangis, jiwaku memberontak. Belenggu ini adalah racun. Membunuhku secara perlahan.

Alhasil, gairah hidupku drastis menurun. Semangat bak ditelan waktu. Hidupku mulai seenaknya mengikuti keinginan hatiku dan keinginan untuk melanggar peraturan-peraturan yang ada. Semakin lama aku semakin seperti mayat hidup yang mengakibatkan prestasi kerjaku menurun jatuh sangat dalam. Pada akhirnya aku mengajukan resign dari pekerjaanku. Selain sudah jenuh, hal ini aku lakukan sebagai bentuk protes pada atasanku. Sah, kini aku menjadi ibu rumah tangga saja.

-----ooo-----

Supermarket yang berlokasi di dalam komplek perumahanku begitu sangat ramai, mungkin karena ini adalah awal bulan. Banyak orang yang berbelanja di sini. Aku juga kemari untuk membeli keperluan rumah. Hampir di setiap lorong pembelanjaan, aku bertemu orang-orang yang kukenal, hampir semuanya ibu-ibu, dan sebagian besar adalah kenalan sejak masa kecil.

“Permisi …” Suara ini membuyarkan lamunanku dan aku langsung menoleh.

“Aih… Kamu… Mala… Aku kira siapa …” Sapa hangatku pada sahabat lama yang sudah jarang ketemu dan sekarang ketemu lagi. Kami pun saling bersalaman sambil cipika-cipiki.

“Kamu kelihatan kurusan, Ka …” Kata Mala sambil menelisik tubuhku dari atas sampai bawah.

“Lagi banyak pikiran, La… Lagi mumet kepalaku …” Jawabku setengah bercanda.

“Aduh… Penyakit pikiran toh… Cepet-cepet sembuhin dong… Bisa ngerembet penyakitnya loh ke mana-mana …” Ucap Mala santai.

“Ya, nih… Sepertinya aku harus ke psikiater …” Keluhku serius.

“Segitu beratnya, Ka… Boleh aku tau?” Nada suara Mala berubah menjadi serius.

“Kebetulan aku ingin sekali curhat masalahku, La… Emang udah lama aku ingin main ke tempatmu… Aku ingin ngeluarin unek-unekku ini …” Timpalku bersemangat.

“Ayo ke rumahku… Siapa tau aku bisa nyembuhin penyakit kamu …” Ucap Mala hangat.

Kami pun bergegas menyelesaikan acara belanja kami dan singkat cerita aku berkunjung ke rumah sahabatku ini. Kopi hitam dan makanan ringan sudah tersedia di meja tamu. Kami sejenak ngobrol ngalor-ngidul tak tentu arah. Sekedar membuka memori perjalanan hidup kami masing-masing selama tidak berjumpa.

“Ka… Kamu tadi bilang punya unek-unek yang mau diceritain sama aku …” Mala mulai membuka permbicaraan serius.

“Ya. La… Aku ingin kalau unek-unekku ini adalah rahasia kita berdua saja …” Aku minta kepastian pada sahabatku ini.

“Aku janji …” Sahut Mala seraya mengangkat dua jarinya ke atas.

“Begini, La …” Selanjutnya aku ceritakan semua pengalaman hidupku yang berkaitan dengan asmara gelapku bersama Ferdy, tidak satu pun yang aku sembunyikan pada Mala. Sejak aku memulai cerita sampai dengan akhir cerita, Mala tidak menampakan ekspresi terkejut atau aneh, ia tampak santai tetapi serius.

“Hi hi hi… Gak nyangka ya kalau kamu nakal… Gak ketampangan …” Ujarnya sambil tertawa.

“Jangan menggodaku seperti itu, La …” Aku protes atas respon Mala.

“Hi hi hi… Sorry… Tadi kamu bilang ada yang hilang dari dirimu, bukan …? Saranku sih, cari penggantinya …” Ucapnya sambil memegangi tanganku.

“Maksudmu???” Aku pura-pura tidak mengerti.

“Kamu harus mencari Ferdy-Ferdy yang lain untuk menutupi kekosongan hidup kamu …” Ucap Mala dengan matanya yang menatapku dalam.

“Aku… Aku …” Mendadak lidahku kelu tetapi aku merasa ada secercah cahaya harapan yang menyinari hatiku lagi.

“Akan aku kenalkan laki-laki yang menurutku tampan dan gagah padamu… Tunggu sebentar …!” Kata Mala sambil mengambil handphone dari saku celananya. Mala sedang menghubungi seseorang dan aku sedikit berdebar-debar menunggu sahabatku berbincang-bincang dengan lawan bicaranya di seberang sana. Tak lama kemudian, Mala mengakhiri percakapannya dan langsung memandangku sambil tersenyum.

“Sekarang kamu berdandanlah di rumahmu… Aku juga akan mempersiapkan diri… Kita akan makan siang dengan mereka …” Ucap Mala.

“Mereka?” Tanyaku penasaran.

“Namanya Alvin dan Pram… Mereka anak kuliahan …” Mala tersenyum. Entah kenapa hatiku seperti tersetrum listrik.

“Kok anak-anak sih, La?” Tiba-tiba aku protes.

“Tenag saja… Mereka bukan gigolo… Mereka anak-anak yang butuh kasih sayang… Hi hi hi …” Celotehnya sangat ringan.

Seketika itu timbul rasa penasaranku. Tak bisa aku pungkiri kalau ajakan Mala membuatku bergairah. Aku berbincang-bincang sebentar dengan sahabatku ini lalu pulang diantar anak gadis Mala dengan mobilnya. Sesampainya di rumah, aku langsung mandi dan berdandan. Mandi dan berdandanku cukup lama hingga Mala datang menjemputku pun aku belum selesai berdandan.

Singkat cerita, aku dan Mala sudah berada di sebuah restoran di bilangan pusat kota. Siang itu suasana restoran cukup ramai. Kursi-kursi tampak ramai dengan pengunjung yang ingin bersantap makan siang. Di hadapanku sudah ada dua orang remaja yang menurutku tampan-tampan. Alvin memiliki rambut agak panjang sebahu dengan perawakan tinggi berisi sementara Pram berambut pendek rapi dengan perawakan tinggi agak kurus.

Ternyata mereka merupakan remaja-remaja yang enak diajak bicara, dan akhirnya kami menjadi langsung akrab setelah saat itu perkenalan dilanjutkan dengan acara makan siang. Kami berbincang-bincang layaknya orang yang sudah saling akrab lama. Kami bercanda ria, seperti orang yang sudah saling mengenal tahunan.

-----ooo-----

Setelah pertemuan itu ternyata Alvin dan Pram sering menelepon ke rumahku walaupun mereka sudah tahu bahwa aku ini seorang istri dengan tiga orang anak. Tentunya dalam pembicaraan telepon itu meraka selalu merayu gombal, tetapi tetap ia menjadi teman bicara yang enak. Aku sangat tahu kalau mereka tertarik padaku dan aku sungguh sangat senang dan bangga pada diriku sendiri.

Suatu hari, Alvin mengajakku makan siang bersama. Awalnya aku tolak namun dengan gigihnya dan akhirnya aku menyerah juga, tetapi ada syaratnya yaitu makan siang harus ramai-ramai dan Alvin menyetujui syaratku dengan mengajak Pram. Aku pun pergi sendiri untuk memenuhi undangan Alvin. Dan akhirnya kami pun bertemu di sebuah restoran yang ada fasilitas karaokenya.

“Ayo Bunda, nyanyi…” Mereka menyemangatiku kala aku melantunkan lagu. Dan ternyata kedua remaja itu merupakan teman yang enak untuk gaul, wawasannya luas dan menyenangkan.

Saatnya melepas sumpek dengan bernyanyi dan menari, sambil teriak pun bisa. Dua jam pun berlalu dengan sukses (sukses rusuh… hahaha…) yang penting hati puas, lega, dan plong. Kami bernyanyi, memilih lagu, bergirang dan bersorak huuuuu melihat score karaoke kami. Aku pun dipesankan minuman whisky-cola yang membuat badanku hangat. Entah berapa gelas aku minum minuman beralkohol tersebut tetapi yang terpenting aku sangat happy saat ini.

“Hah… hah… hah… Cape Bunda… Kita istirahat dulu …” Ucap Pram dengan nafas yang terengah-engah.

“Ihk… Kok cape? Kalah sama nenek-nenek …” Candaku sambil menyenggol sikutku pada Pram yang duduk di sampingku.

“Jangan bilang nenek-nenek… Bunda masih keliatan cantik kok… Gak kalah ama temen-temen mahasiswi aku …” Gombal Alvin yang membuatku tersenyum malu.

“Masa sih aku dibandingin dengan mahasiswi?” Ucapku pelan dengan hati yang berbunga-bunga.

“Serius, Bunda… Cupp …!” Aku terkejut ketika Pram mencium pipi sebelah kananku.

“Ihk… Kamu …” Aku beraksi dengan memukul manja paha Pram.

“Sialan lu, Pram… Curi start…” Kata Alvin dengan memasang muka keselnya.

“Ha ha ha …” Pecah tawa Pram melihat tingkah Alvin.

“Hi hi hi… Supaya adil… Nih cium pipi kiri Bunda …” Ucapku menantang.

“Asik… Cupp… Cupp… Cupp …” Alvin mencium pipi kiriku berkali-kali.

“Maen curang… Gue cuman sekali… Nah, elu tiga kali …” Giliran Pram yang protes.

Kami tertawa terbahak-bahak dengan kelucuan yang kami ciptakan barusan. Kedua remaja itu akhirnya merangkulku mesra dengan sesekali mengecup pipiku. Sungguh aku sangat bahagia mendapat perlakuan mesra mereka. Dan kami lanjutkan karokean ini, tak seberapa lama mereka memintaku untuk berdansa denganku sewaktu salah satu diantara mereka bernyanyi.

“Badan bunda hot…” Alvin berbisik di telingaku sambil bibirnya mencium belakang telingaku dan tanpa malu-malu lagi tangannya meremas buah dadaku yang putingnya sudah semakin sensitif.

“Kamu nakal …” Balas bisikku nakal menantang. Aku biarkan tangan Alvin mempermainkan buah dadaku yang semakin kenyal mengeras.

“Hhhhmmm …” Alvin pun mengulum bibirku dan aku balas.

Gejolak birahi yang datang ini halus namun nyata, terasa memberontak seolah sang penguasa. Gelora rayuannya menusuk nafsu membangkitkan gelora birahi. Semakin lama ayunannya semakin cepat, tak kuasa aku menahan diri. Aku turuti itu sebab aku telah masuk dalam perangkap nikmat yang tiada tara.

Aku pun dibimbing oleh Alvin untuk duduk di sofa di mana saat itu juga Pram menyambutku. Alvin kembali melumat bibirku sementara tangan Pram mengusap-usap bagian perutku. Entah setan mana yang menyuruhku untuk melingkarkan kedua tanganku ke masing-masing pinggang kedua remaja ini. Saat lidah Alvin mulai memasuki rongga mulutku, terasa buah dadaku diremas-remas.

Sasana semakin erotis dan misterius. Kedua remaja itu berusaha melucuti seluruh pakaianku. Aku biarkan mereka membuka seluruh pakaianku sehingga aku betul-betul bugil di hadapan mereka berdua. Aku tidak perduli lagi dianggap apaan, pokoknya aku ingin menikmati surga dunia ini dengan seluruh jiwa ragaku.

Alvin kemudian mengambil alih tubuhku. Diaturnya sedemikian rupa di atas sofa dengan posisi kaki mengangkang di tepi sofa, sehingga vaginaku yang berwarna coklat kehitam-hitaman tersibak dengan jelas di antara bulu-bulu halus dan Alvin langsung berlutut di depan selangkanganku. Tangannya membelai daerah pinggul lalu turun, berputar dan berhenti di vaginaku, memainkan klitorisku setelah membuka belahan bibir bawahku mesra.

“Stooopp! Buka dulu pakaian kalian …!” Pintaku tanpa malu.

Dalam sekejap mereka telah membuka pakaian mereka hingga bugil dan langsung mengerjaiku lagi. Sekilas aku lihat penis mereka sudah sangat tegang dan ukurannya cukup besar dan panjang, namun masih kalah besar oleh penis milik Ferdy. Alvin kembali berlutut di depan selakanganku sementara Pram sudah mulai ‘menyusu’ di buah dadaku.

Kedua tangan Alvin lalu membuka bibir vaginaku lebar-lebar dan kusambut dengan lebih mengangkangkan kakiku agar dia lebih leluasa mempermainkan vaginaku. Kurasakan lidahnya menyentuh bagian dalam vaginaku perlahan, lalu semakin liar membuatku bergerak tidak karuan mengimbangi serangan-serangan Alvin.

“Teruss Yang…! Jangan berhenti… Oh yeah… enak banget.” Ucapku mendesis kenikmatan. Kugerakkan pinggulku ke kiri dan ke kanan, kadang ke atas menahan rasa geli dan nikmat. Jeritanku mulai mengisi ruangan karaoke itu mengalahkan musik dalam VCD, dan itu tampaknya semakin membakar nafsu kedua lelaki itu.

“Aaawwwww…!” Seruku ketika Alvin menggigit kacang yang sangat sensitif itu. Kugerakkan tanganku mencari kepalanya dan kuremas rambutnya sambil terus mendorong agar kepalanya tetap berada di vaginaku. Aku melenguh habis-habisan diserang dari dua sudut sumber birahiku.

“Pram udah dong nyusunya… Sini kontolmu kuisap…!” Kata-kata vulgar itu keluar begitu saja dari mulutku tanpa malu. Pram tersenyum dan mendekati wajahnya ke wajahku, mencium bibirku dengan ganas, kusambut permainan lidahnya dengan bersemangat pula. Lidahnya berputar liar dalam mulutku beradu dengan lidahku, dan kami terus mencoba menghisap lidah satu sama lain, nikmat sekali!

Kemudian Pram mengambil posisi di dekat kepalaku dan menyodorkan penisnya padaku. Kumulai dengan menjilati batang itu hingga basah, lalu buah zakarnya kuemut-emut sambil mengocok batangnya. Aku sangat menikmati oral seks itu, aku senang membuatnya mengerang nikmat ketika kujilati lubang kencing dan kepala penisnya.

“Bunda… Aku masukin ya …!” Goda Alvin yang sudah siap di posisinya. Aku hanya mengangguk karena mulutku terjejal oleh penis Pram.

Alvin menggosok batang kemaluannya di daerah vaginaku, dan tiba-tiba dengan sekali sentakan keras dia mendorang penisnya masuk ke vaginaku. Kira-kira setengah menit dibiarkannya di dalam, diam lalu dikeluarkannya lagi, didorongnya lagi lalu dikeluarkan lagi, mula-mula secara perlahan namun kemudian semakin cepat.

“Oohh… oohh… oohh… oohh…” Aku mendesah-desah setelah melepaskan emutanku. Desahanku berhenti ketika Pram memasukkan kembali batang kemaluannya ke dalam mulutku dan membuatku sibuk melayaninya.

“Aaaahhh… Bun… Enak sekha… liii…” Alvin bergumam tidak karuan, sesekali ditepuknya pinggulku pelan.

Untuk beberapa menit aku melayani kedua remaja ini dengan posisi demikian. Kini tubuh bugilku penuh cairan campuran keringat dan liur mereka. Tiba-tiba saja, Alvin mengeluarkan penisnya dari relung kenikmatanku, nafasnya sangat terengah-engah. Pram mengambil alih vaginaku, dan tanpa basa-basi langsung menusukkannya di lubang kenikmatanku.

Posisiku kini berubah, bukan tiduran lagi namun agak jongkok, karena Alvin telah berbaring di depanku meminta jatah kocokan mulutku yang mungil ini. Seperti dugaanku, batang kemaluan Alvin tidak lah sepanjang punya Pram, tetapi tidak juga pendek, namun lingkar diameternya lebih besar dari milik Pram, sehingga tetap saja aku kewalahan menghisapnya berhubung bibirku kecil.

Aku berjongkok di antara kedua tungkainya dan bertumpu pada kedua sikuku, sementara Pram dengan ganasnya menusukkan penisnya ke dalam vaginaku sambil mendesah-desah dan melenguh kenikmatan. Agar tidak terlalu keras menjerit menahan serangan Pram, aku mencoba berkosentrasi pada batang penis Alvin dan mulai bekerja menjilat, menghisap, menggigit dan mengocoknya dengan bersemangat seirama dengan sodokan yang kuterima dari arah kemaluanku.

“Bun… Bunda… Memeknya enak banget …!” Ceracau Pram yang sedang asik mengorek lubang kenikmatanku. Aku tidak berkomentar apa-apa degan ceracauan Pram. Aku asik memperhatikan wajah tampan Alvin yang sedang menikmati sensasi pijatan mulutku. Kuputar-putar ke kiri dan ke kanan di dalam mulutku sambil kuhisap dalam-dalam, kutahan lalu kulepaskan setelah sekian detik membuatnya meringis nikmat.

Waktu terus berlalu. Tidak ada kata lain memang yang dapat mewakili perasaan yang aku alami selain nikmat yang tiada tara. Aku sangat menikmati peranku melayani kebutuhan seksual dan menjadi objek pemuas nafsu mereka. Aku meresapi setiap detil kenikmatan yang sedang menyelubungi tubuhku. Aku benar-benar terbuai oleh kenikmatan main keroyok seperti ini.

“Sayaaangg… Aku… Maauuu… Aaaakkkhhhh…” Pertahananku bobol. Napasku tersentak, orgasme pertamaku tiba-tiba melanda tubuhku, hampir saja aku menjerit lagi kalau Pram tidak menutup mulutku dengan tangannya. Sementara itu Pram terus bergoyang, kejantanannya yang kekar dan panjang bergerak keluar masuk lubang senggamaku.

Cairan cinta terasa terus mengucur membasahi rongga-rongga kemaluanku bersamaan dengan penis milik Pram yang terasa makin membengkak dan sodokannya yang makin gencar. Otot-ototku menegang dan desahan panjang keluar dari mulutku akibat orgasme panjang. Cairan hangat dan kental menyemprot hampir semenit lamanya di dalam lubang vaginaku.

Selanjutnya berbagai posisi mereka atur tubuhku, sementara aku hanya dapat menurut disuruh apa saja, sebab seluruh tubuhku pasrah menerima perlakuan mereka. Badanku gemetar hebat melepas orgasme berkali-kali, tetapi mereka tetap saja belum orgasme. Bergantian mereka menggarap vaginaku, sementara aku terus berusaha mengimbangi mereka.

Entahlah sudah berapa lama kami mengayuh kenikmatan dunia ini bersama. Saat ini aku sedang menyepong penis Pram sedangkan Alvin semakin keras menyodokku. Lalu tiba-tiba ditariknya penisnya dan dibawa ke mulutku. Aku segera menyingkirkan batang kejantanan Pram dari mulutku dan menyambut penis Alvin dengan terburu-buru.

“Oh cepat sini Sayang..! Biar kuemut sampai keluar, Ooohh..!” Kuhisap cepat dan kukocok batang kemaluan Alvin di dalam mulutku, semantara penis Pram sudah nangkring di sarangnya mengaduk-aduk vaginaku. Dalam beberapa detik, muncratlah sperma Alvin memenuhi rongga mulutku dan kutelan setelah kumainkan sejenak.

“Hmm.. banyak sekali spermamu Yang..!” Kataku sambil menjilati penisnya, membersihkan sisa-sisa sperma yang masih tertinggal. Alvin pun terduduk lemas di sampingku. Alvin mengecup bibirku mesra.

Kini aku berkonsentrasi pada Pram sambil mendesah menikmati sodokan-sodokannya yang semakin cepat. Pasti sebentar lagi dia

off. Benar saja kataku, tidak lama kemudian kurasakan otot-ototnya makin tegang pertanda spermanya udah di ujung penis. Cepat-cepat kutarik vaginaku.

“Tahan Yang bentar..!” Aku langsung bergegas bangun dan turun dari sofa, lalu berlutut di depan batang penisnya dan menyambarnya masuk ke mulutku. Pram meringis ketika kemaluannya kuhisap dan kukocok kuat berkali-kali.

“Oohh… oohh… Bun… terus…! Hampir, ayo Bun…! Oohh… Aaaakkhhhh…!” Seruannya membahana keluar mengiringi muncratnya cairan putih susu yang kental dan hangat dalam rongga mulutku. Aku terus menghisap dengan rakus tidak ingin ada setetes sperma pun luput dari mulutku. Pram berkali-kali memuncratkan lahar putihnya itu hingga akhirnya dia terduduk lemas di sofa.

“Terimakasih ya, Bunda …” Alvin menarikku dan mendudukanku di pangkuannya.

“Luar biasa… Bunda kuat sekali …” Puji Pram sambil tersenyum.

“Aku juga berterima kasih pada kalian… Karena telah memberikan kebahagian padaku …” Ucapku pelan.

Kami sudah kecapean semua, kami duduk mengatur nafas. Tak lama kemudian, Pram memberiku sebuah Aqua gelas dan handuk kering. Aku menggerakkan tangan menghanduki tubuhku yang basah. Kami pun membenahi diri masing-masing lalu keluar dari tempat karaoke itu. Aku diantar pulang oleh mereka dengan menggunakan mobil milik Pram.

Semenjak kejadian di tempat karaoke itu, akhirnya lambat laun aku bisa melupakan Ferdy dengan segala kenangannya walaupun masih terasa sangat sulit. Hidupku mulai bergairah menikmati dunia nyata walaupun sebagian besar gairah itu adalah berbentuk kenikmatan fisik yang kebablasan. Aku tidak peduli bahkan aku pun tidak peduli dengan peradaban ini.

-----ooo-----

Dua Minggu Kemudian …

Siang itu sungguh panas, bahkan jika satu menit saja sebatang es krim dibiarkan di luar maka sudah pasti ia akan menjadi segelas sirop. Aku nikmati es krim sambil menonton televisi di ruang keluarga bersama suamiku. Hari ini adalah hari minggu, hari di mana aku harus berada di rumah bersama keluarga.

Walau mataku menatap televisi namun pikiranku tidak berada di sini. Lamunanku mengawang kembali ke hari jumat kemarin. Saat itu Alvin dan Pram ‘mengerubutiku’ di sebuah hotel di bilangan utara kota. Beberapa hari terakhir ini aku sering bercinta dengan kedua remaja itu. Entahlah, kenapa aku menjadi begini dan tentunya aku tidak memperdulikan dengan keadaanku saat ini.

“Mama …!!!” Teriak putri sulungku yang tiba-tiba datang dari pintu depan. Aku cukup terhenyak dengan teriakan putriku itu.

“Kalau masuk itu harusnya salam… Bukan teriak-teriak seperti itu …!” Bentakku kesal.

“Idih… Gitu aja kok marah …” Abakku malah mencandaiku lalu mencium pipiku.

“Dari mana saja kamu, Nara?” Tanya suamiku pada anakku.

“Jalan-jalan, Pa… Oh ya, sebentar …!” Nara, anakku langsung kembali ke pintu depan. Dan tak lama, anakku kembali dengan seorang pemuda.

“DEUUGG!!!” Denyut jantungku serasa berhenti. Aku lihat pemuda itu datang menghampiriku. “Ferdy …” Gumamku dalam hati. Bukan… Pemuda itu mirip sekali dengan kekasihku yang bernama Ferdy.

“Tante… Aku Imran …” Pemuda tersebut memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangannya.

“I-iya …” Walau agak gugup, aku terima uluran tangannya. Penglihatanku masih sangat bangus. Ya, aku melihat sosok Ferdy di diri pemuda ini.

Pemuda itu lalu memperkenalkan diri pada suamiku dan bergabung di ruang keluarga. Nara, anakku yang berusia 19 tahun, memberitahukan bahwa pemuda tersebut adalah pacarnya. Imran adalah seorang mahasiswa kedokteran tingkat tiga di universitas yang sama dengan anak gadisku. Jujur, aku terpesona melihat wajah pacar anakku.

Awalnya aku menyangka jangan-jangan pemuda ini adalah saudara dari Ferdy, ternyata tidak. Imran menceritakan asal-usul keluarganya pada kami. Ia bercerita dengan tutur bahasa yang sopan dan lembut. Rasanya pemuda ini pandai mengambil hati suamiku, nyatanya suamiku yang agak keras terhadap anak-anak bisa diluluhkan oleh Imran dan menyambut baik kedatangannya.

Tak henti-hentinya aku mencuri pandang pada pacar anakku itu. Semakin lama hatiku semakin semrawut tak karuan. Bayang-bayang Ferdy kembali menghantui pikiran dan hatiku. Ferdy teramat mencintaiku (katanya) dan aku sangat mencintainya. Kami sudah melalui banyak kisah bersama. Kami selalu bahagia tetapi kami bertahan untuk tidak bersatu.

Siang itu, kami sekeluarga makan siang bersama, ditambah oleh ‘kembaran Ferdy’ yang duduk tepat di depanku. Aku selalu mencuri-curi pandang pada pemuda itu. Dan anehnya aku tidak merasa malu saat Imran mengetahui kalau aku sedang memandanginya, bahkan beberapa kali. Suatu ketika Imran memergokiku lagi sedang memandangnya.

Dengan sekuat tenaga, aku pun menahan rasa aneh ini. Berkali-kali aku berteriak dalam hati, “Jangan… Jangan… Jangan…!” Namun semakin ditahan, hatiku semakin memberontak. Hati dan pikiranku tidak bisa menyatu, terus berperang, sementara aku tidak bisa menjadi wasit yang baik. Aku sangat tidak ingin kalau hatiku menjadi pemenangnya. Keningku berkeringat. Aku tidak pernah dihadapkan posisi seperti ini sebelumnya. Aku merasa sedang melakukan perbuatan yang membingungkan.

Acara makan siang pun usai. Aku segera membereskan meja makan dibantu oleh pembantuku. Tiba-tiba aku ingin menyibukan diri agar hatiku tenang. Aku mencuci piring bekas makan siang kami. Setelah selesai, apa pun aku kerjakan membantu pembantuku. Sial, tetap saja hati ini tidak bisa lepas dari pacar anakku itu.

Apakah aku ini sudah gila …!!!” Aku mengutuki diriku sendiri dalam hati.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan