2 November 2020
Penulis — kernel
Tak ada perasaan apa-apa waktu itu karena hal yang sangat lumrah bagi kami bertiga yang hampir tiap sore curhat ditempat itu. Sampai kemudian Bu Siska menyuruh Rani agar masuk tidur karena terlihat matanya yang sembab menahan tangis ketika bertutur tadi. Rani pun mengiyakan dan beranjak ke kamarnya.
Tinggal aku dan Bu Siska disana, ia masih bersandar di bahuku, lama kelamaan mungkin karena pegal, ia pindah dan berbaring di pahaku. Akupun sudah terbiasa dengan hal itu, kubelai rambutnya yang sebahu, lebat dan hitam terawat. Keharuman tubuhnya menyeruak seketika ia mengangkat tangannya membelai pipiku.
Bud?.,? panggilnya pelan sekali.
Iya Bu?,?
Ibu sayang sama kamu, ibu sudah menganggap kamu seperti anak ibu sendiri,? tangannya masih membelai pipi kiriku dengan lembut.
Terimakasih Bu, Budi juga sangat sayang pada ibu, Mbak Rina dan Rani,?
Dan ibu juga ingin kamu benar-benar menjaga Rani dengan baik, ibu tahu kalian tak sekedar main-main dengan hubungan kalian kan??
Bu, dari mana ibu tahu hubungan kami?? aku terkejut juga, wajahku berubah pucat membayangkan apa yang akan ia katakan kepadaku mengetahui hubunganku dengan Rani. Aku khawatir sekali jangan-jangan ia marah dan memutuskan hubungan itu, lebih parah lagi jika ia mengusirku dari rumahnya. Wah bakalan buyarlah masa depanku.
Tapi melihat sikapnya yang biasa saja aku jadi sedikit tenang dan berharap tak akan ada apa-apa saat itu. Bu Siska masih memejamkan mata dan membelai pipiku manja.
Ibu juga pernah muda Bud, ibu tahu hubungan kalian sudah jauh. Kalian sudah layaknya suami istri, itu ibu bisa mengerti. Dan ibu tidak mempermasalahkan itu karena ibu sangat menyayangi kalian berdua,? katanya lirih. Aku meraih telapak tangan Bu Siska dan menciumnya sebagai rasa hormatku kepadanya. Sebenarnya waktu ia mengatakan tahu hubunganku sudah jauh itu, jantungku terasa mau copot, namun kelembutan belaian tangannya di pipi kiriku membuat aku jadi mengerti betapa ia sebenarnya benar-benar merestui hubungan kami.
Terimakasih bu, saya berjanji jika diberi umur panjang maka sayalah orang yang akan menjaga dan bertanggungjawab untuk Rani, sebenarnya saya malu mengatakan itu kepada ibu. Karena tanpa masalah itupun saya merasa sangat berhutang budi kepada ibu dan keluarga,? aku membelai kepalanya dan mencium kening wajah cantik jelita itu.
ada satu hal yang mengganjal dihati ibu Bud, itu yang ingin ibu katakan kepada kamu. Tapi besoklah, ibu tidak ingin Rani atapun Rina mengetahui hal itu dulu. Sebaiknya kita bicarakan besok saja di kantor, karena hal ini butuh waktu yang lama untuk kita bicarakan,? ia beranjak bangun dan merapikan dasternya, Bu Siska lalu mencium pipiku dan beranjak pergi.
ibu mau siapkan bahan kerja dulu, besok sepulang sekolah tolong kamu telpon ibu ke kantor ya? Tuh temeni istrimu bobo dulu,? katanya mengakhiri pembicaraan.
Trims Bu,? aku mengangguk sambil berfikir apa yang akan dibicarakan oleh Bu Siska besok hingga harus merahasiakannya pada? istriku? si Rani. Adakah rahasia lain lagi yang akan ia katakan kepadaku? Ah, aku melangkah gontai ke kamar? kami?, sejak sebulan ini aku memang tak pernah lagi tidur di kamarku.
Sejak perceraian Bu Siska aku tiap malam menemani Rani tidur, dan kami tentu saja secara rutin melakukan? ritual-ritual? layaknya suami istri di kamarnya. Kami sudah banyak punya koleksi blue film yang setiap habis belajar malam kami tonton berdua untuk selanjutnya dipraktekkan langsung. Kami yang dulunya melakukan hubungan badan karena rasa cinta itu kini tak sekedar meresapinya tapi mengembangkannya dengan berbagai variasi.
Aku yakin, dibandingkan pasangan lain di dunia ini mungkin aku dan rani adalah pasangan yang paling aktif, bayangkan sehari rata-rata kami bermain 3 sampai 6 kali yang dalam tiap rondenya paling cepat 45menit. Dan Rani yang kutahu adalah tipe wanita yang multi orgasme, dalam satu ronde permainan yang nonstop ia sanggup meraih 3 sampai 4 kali orgasme.
Keesokannya saat sedang belajar di kelas, aku menjadi tak konsentrasi. Pikiranku berkecamuk dan bertanya-tanya apa yang akan dikatakan oleh ibu angkatku itu nanti. Beberapa item pelajaran bahkan tidak sama sekali masuk dalam otakku, padahal sebulan lagi kami akan menghadapi ujian akhir yang akan sangat menentukan koordinat arah pendidikan tinggi yang diinginkan.
Akhirnya jam satu siang tiba juga, aku yang biasanya menunggu Rani untuk pulang bersama (karena kami pakai satu mobil antar jempt yang sama) kini harus berbohong dengan mengatakan bahwa aku harus ke tempat temanku yang lagi sakit keras dan absen beberapa hari. Rani memang tak satu kelas denganku, jadi ia tidak mungkin tahu hal itu, dan ia selalu percaya padaku.
Taksi membawaku menyusuri jaran lebar dan padat di Kawasan Thamrin, memasuki sebuah gedung pencakar langit, mungkin yang tertinggi di Jakarta. Aku sampai juga di kantor ibu yang ada di lantai 28 gedung itu. Seorang petugas keamanan rupanya sudah dipesan untuk mengantarku dari loby ke ruangannya yang luas.
Pintu ditutup perlahan dan dengan penuh hormat, satpam perusahaan tadi pamit melangkah keluar ruangan ibu. Tinggal aku dan dia di dalam ruangannya.
Duduk dulu Bud, ibu ke toilet sebentar,? katanya menyambutku dengan nada datar sambil berlalu membuka pintu kamar mandi yang ada disana. Tinggal aku yang masih termenung menebak-nebak apa yang akan dibicarakan ibu denganku. Namun hanya 5 menit kemudian ibu sudah keluar dari kamar mandinya, dengan senyuman yang penuh misteri ia langsung duduk disampingku, memeluk, hal yang sangat biasa ia lakukan terhadap satu-satunya anak angkat pria yang ia miliki ini.